Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Renungan. Show all posts
Showing posts with label Renungan. Show all posts

2008/11/29

Sunnahnya Mandi Sebelum Sholat Ied

Oleh: Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi dan Syaikh Salim Al Hilali

Dari Nafi’ berkata :
“Abdullah bin Umar biasa mandi pada hari idul Fithri sebelum pergi ke mushalla tempat berkumpul manusia untuk sholat, di lapangan bila tidak hujan, red)” (Diriwayatkan Malik 1/177, Asy-Syafi’i 73 dan Abdurrazzaq 5754 dan sanadnya Shahih).

Imam Said Ibnul Musayyib berkata :
“Sunnah Idul Fithri itu ada tiga : berjalan kaki menuju ke mushalla, makan sebelum keluar ke mushalla dan mandi” [Diriwayatkan Al-Firyabi 127/1 dan 2, dengan isnad yang shahih, sebagaimana dalam 'Irwaul Ghalil' 2/104]
Aku katakan : Mungkin yang beliau maksudkan adalah sunnahnya para sahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk mereka, jika tidak, maka tidak ada sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal demikian.

Berkata Imam Ibnu Qudamah :
“Disunnahkan untuk bersuci dengan mandi pada hari raya. Ibnu Umar biasa mandi pada hari Idul Fithri dan diriwayatkan yang demikian dari Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dengan inilah Alqamah berpendapat, juga Urwah, ‘Atha’, An-Nakha’i, Asy-Sya’bi, Qatadah, Abuz Zinad, Malik, Asy-Syafi’i dan Ibnul Mundzir” [Al-Mughni 2/370]

Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi ini maka haditsnya dhaif (lemah) (Ini diriwayatkan dalam ‘Sunan Ibnu Majah’ 1315 dan dalam isnadnya ada rawi bernama Jubarah Ibnul Mughallas dan gurunya, keduanya merupakan rawi yang lemah. Diriwayatkan juga dalam 1316 dan dalam sanadnya ada rawi bernama Yusuf bin Khalid As-Samti, lebih dari satu orang ahli hadits yang menganggapnya dusta (kadzab))

(Dikutip dari Ahkaamu Al’ Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al- Atsari, Pustaka Al-Haura’, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein)

Selengkapnya...

Sepulang Dari Mushalla di Sunnahkan melalui jalan lain

Oleh: Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi dan Syaikh Salim Al Hilali

Telah diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radliallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari raya biasa mengambil jalan yang berlainan (ketika pergi dan ketika kembali dari mushalla-pen)” [Hadits Riwayat Bukhari 986].

Berkata Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah : “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengambil jalan yang berbeda pada hari raya. Beliau pergi ke mushalla melewati satu jalan dan kembali dengan melewati jalan lain. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya adalah agar beliau dapat memberi salam kepada orang-orang yang berada di dua jalan itu. Ada yang mengatakan : Agar mendapatkan barakahnya dari beliau bagi kedua pengguna jalan yang berbeda. Dan dikatakan pula, agar beliau dapat memenuhi hajat orang yang butuh pada beliau di dua jalan itu. Ada pula yang mengatakan tujuannya agar dapat menampakkan syi’ar Islam …. Dan ada yang mengatakan -inilah yang paling benar- : Beliau melakukan perbuatan itu untuk semua tujuan tersebut dan hikmah-hikmah lain yang memang perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak kosong dari hikmah”. [Zaadul Ma'ad 1/449].

Imam Nawawi rahimahullah setelah menyebutkan perkataan-perkataan di atas, beliau mengomentari : ” Kalau pun tidak diketahui apa sebabnya beliau mengambil jalan yang berbeda, disunahkan untuk meneladaninya secara pasti, wallahu a’lam”. [Raudlatut Thalibin 2/77]. Lihat ucapan Imam Al-Baghawi dalam “Syarhus Sunnah” (4/314).

Dua Peringatan :

Pertama.
Berkata Al-Baghawi dalam “Syarhus Sunnah” (4/302-303) : “Disunnahkan agar manusia berpagi-pagi (bersegera) ke mushalla (tanah lapang) setelah melaksanakan shalat shubuh untuk mengambil tempat duduk mereka dan mengumandangkan takbir. Sedangkan keluarnya imam adalah pada waktu akan ditunaikannya shalat”.

Kedua.
At-Tirmidzi meriwayatkan (530) dan Ibnu Majah (161) dari Ali Radliallahu ‘anhu bahwa ia berkata : “Termasuk sunnah untuk keluar menunaikan shalat Id dengan jalan kaki”. [Dihasankan oleh Syaikh kami Al-Albani dalam "Shahih Sunan Tirmidzi"].

(Dinukil dari Ahkaamu Al’ Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Selengkapnya...

Kedudukan Ibadah Qurban

Oleh AHMAD SAHIDIN

Qurban dalam bahasa Arab artinya dekat. Sedangkan qurban secara istilah dalam agama Islam bermakna menyembelih hewan sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah qurban disebut udzhiyah, artinya hewan yang dipotong sebagai qurban. Ibadah qurban ini perintahnya terdapat dalam al-Qur’n surah al-Kausar (108) ayat 2, “maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan berqurbanlah”.

Keutamaan mengenai ibadah qurban dijelaskan pula dengan hadist yang diterima A’isyah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sabaik-baik amal bani Adam bagi Allah di hari Idul Adha adalah menyembelih qurban. Di hari kiamat hewan-hewan qurban tersebut menyertai bani adam dengan tanduk-tanduknya, tulang-tulang dan bulunya, darah hewan tersebut diterima Allah sebelum menetes ke bumi dan akan membersihkan mereka yang melakukannya (muqarib)” (HR.Tirmidzi, Ibnu Majah).

Juga dalam riwayat Anas bin Malik, yang terdapat dalam kitab Sunan Tirmizi, disebutkan bahwa Rasulullah SAW menyembelih dua ekor domba putih bertanduk. Rasulullah SAW meletakkan kakinya di dekat leher hewan tersebut lalu membaca basmalah dan bertakbir serta menyembelihnya.

Hukum ibadah qurban, menurut mazhab Hanafi masuk pada tingkat wajib dengan dalil hadist Abu Haurairah yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka jangan lah ia mendekati masjidku” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah).

Dikarenakan landasan di atas, Imam Hanafi menyatakan bahwa dalil-dalil di atas menunjukkan suatu perintah yang sangat kuat sehingga lebih tepat bila dikatakan wajib.

Namun mayoritas ulama mengatakan, hukum qurban itu sunnah dan dilakukan tiap tahun bagi yang mampu. Mazhab syafi’i mengatakan, qurban hukumnya sunnah ‘ain (menjadi tanggungan perorangan) bagi setiap individu sekali dalam seumur.

Dan sunnah kifayah hukumnya bagi sebuah keluarga besar, yang juga menjadi tanggungan seluruh anggota keluarga. Namun kesunnahannya terpenuhi jika salah seorang anggota keluarganya telah melaksanakan ibadah qurban. Pendapat ini berlandaskan pada riwayat Umi Salamah, Rasulullah SAW bersabda, “Bila kalian melihat hilal dzul hijjah dan kalian menginginkan menjalankan ibadah qurban, maka janganlah memotong bulu dan kuku hewan yang hendak disembelih” (HR. Muslim). Jika dilihat dengan jeli, hadits ini mengaitkan ibadah qurban dengan keinginan yang artinya bukan kewajiban.

Dalam riwayat Ibnu Abbas Rasulullah SAW bersabda, “Tiga perkara bagiku wajib, namun bagi kalian sunnah, yaitu shalat witir, menyembelih qurban dan shalat idul adha” (HR. Ahmad dan Hakim). Jadi berdasarkan hadits ini, qurban disunnahkan kepada yang mampu. Ukuran kemampuan didasarkan kepada kebutuhan individu, yaitu apabila seseorang setelah memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan masih memiliki dana lebih dan mencukupi untuk membeli hewan qurban, khususnya di hari Idul Adha dan tiga hari tasyriq, maka ia harus berqurban.

Dalam beribadah qurban harus disertai niat untuk Allah atas nama dirinya. Berqurban atas nama orang lain menurut mazhab Syafi’i tidak sah tanpa seizin orang tersebut. Begitu juga atas nama orang yang telah wafat tidak sah bila tanpa dasar wasiat. Ulama Maliki mengatakan makruh berqurban atas nama orang lain. Ulama Hanafi dan Hanbali mengatakan sah saja berqurban untuk orang lain yang telah meninggal dan pahalanya dikirimkan kepada almarhum.

Dalam menyembelih qurban disunnahkan membaca bismillah, membaca shalawat untuk Rasulullah, menghadapkan hewan ke arah kiblat waktu menyembelih, membaca takbir sebelum basmalah dan sesudahnya disertai doa.

PENULIS adalah pemilik blog http://ahmadsahidin.wordpress.com

Selengkapnya...

Qurban: Pengorbanan Hamba Allah

Oleh AHMAD SAHIDIN

PADA tiap bulan Dzulhijjah ada tiga bentuk ibadah yang penting bagi umat Islam: ibadah hajji, idul adha, dan kurban. Idul Adha artinya kembali kepada hari raya kurban. Di dalamnya terdapat apa yang biasa disebut udlhiyah, atau penyembelihan hewan kurban. Kurban berasal dari bahasa Arab yang bermakna qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah.

Perayaan Hari Raya Idul Adha sangat berkaitan dengan kisah Nabi Ibrahim alaihi salam. Dalam kisah yang telah dibahasakan kembali dalam karya sastra oleh Ali Audah, diceritakan Nabi Ibrahim bermimpi dalam tidurnya, yang diperintahkan Allah harus menyembelih anak laki-laki yang satu-satunya, Ismail. Perintah itu kemudian Nabi Ibrahim sampaikan kepada anaknya dan meminta pendapatnya.

”Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah,” kata Ismail meresponnya, ”Kalau ayah akan menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya darahku nanti tidak kena ayah dan akan mengurangi pahalaku. Aku tidak menjamin bahwa aku tak akan gelisah bila dilaksanakan. Tajamkanlah pisau itu supaya dapat memotong aku sekaligus. Bila ayah sudah merebahkan aku untuk disembelih, telungkupkan aku dan jangan dimiringkan. Aku khawatir bila ayah kelak melihat wajahku akan jadi lemah, sehingga akan menghalangi maksud ayah melaksanakan perintah Allah. Kalau ayah berpendapat akan membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi hiburan baginya, lakukanlah, ayah”.

”Anakku,” kata Ibrahim, ‘’sikapmu ini merupakan bantuan besar dalam menjalankan perintah Allah. Dan sekarang ayah pun sudah bersiap”.

Diikatnya kuat-kuat tangan anak itu. Lalu dibaringkan keningnya untuk disembelih. Pisau pun mulai didekatkan pada lehernya. Namun, saat pisau digerakkan, Allah memanggilnya: ”Wahai Ibrahim! Engkau telah melaksanakan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami membalas kepada orang-orang yang berbuat baik” (Qs.Ash-Shaffat: 102). Anaknya itu kemudian digantikan dengan seekor domba besar yang dengan cepat tersedia di tempat itu. Lalu disembelih, diurus, dan dibagikan dagingnya.

Kisah kurban di atas bisa dimaknai sebagai wujud ketaatan atau ketakwaan seorang hamba kepada Allah, yang telah diberi kenikmatan hidup di dunia. Sebagaimana yang tercantum dalam Quran, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” (Qs.Al-Kautsar : 1-2).

Kurban juga merupakan wujud kecintaan pada Allah yang ditunjukkan Nabi Ibrahim dengan kesediaan menyembelih putra kesayangannya. Jadi, Allah melalui Nabi Ibrahim mengajarkan kepada umat Islam untuk menolak segala bentuk egoisme dan keserakahan. Karena kedua sifat itu bila tetap ada dalam diri akan merampas hak dan kepentingan masyarakat dhuafa.

Bahkan, bila ditinjau lebih dalam, peristiwa tersebut memiliki dua dimensi yang bersifat hablumminallah (vertical) dan hablumminannas (horizontal). Secara vertikal, peristiwa itu merupakan upaya pendekatan diri (qurbah) dan dialog dengan Allah dalam rangka menangkap nilai dan sifat-sifat Ilahiyah. Yakni sebagai proses melepaskan segala kepentingan-kepentingan madharat, hawa nafsu, dan ambisi dunianya, sehingga dapat berjumpa dengan Allah. Sedangkan kan secara horizontal, hal itu menjadi pesan Ilahi untuk membumikan nilai-nilai (pengorbanan) itu dalam kehidupan nyata. Yakni dengan menyembelih kambing atau sapi, yang dagingnya dibagi-bagikan. Ini dimensi kurban sebagai bentuk ajaran sosial dalam Islam.

Selain wujud ketakwaan seorang hamba Allah, kurban secara sosial bisa dimaknai momentum berbagi kenikmatan bersama orang lain. Hewan kurban yang disembelih dan dibagikan dagingnya itu akan menjadi pahala (bagi yang kurban) dan menggembirakan mereka yang jarang memakan daging dikarenakan uang yang tidak mencukupinya. Artinya, ibadah kurban mendatangkan kebaikan bersama antara yang miskin dan kaya.

Dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad, para sahabat bertanya pada Nabi Muhammad Rasulullah SAW. “Apakah maksud kurban ini, ya Rasulullah?” tanya para sahabat. Rasulullah SAW menjawab, “Sunnah Bapakmu, Ibrahim.” Mereka kembali bertanya, “Apa hikmahnya bagi kita?” Beliau menjawab, “Setiap rambutnya akan mendatangkan satu kebaikan.” Mereka bertanya lagi, “Apabila binatang itu berbulu?” Beliau menjawab, “Pada setiap rambut dari bulunya akan mendatangkan kebaikan”.

Jadi, kurban merupakan wujud kesediaan seseorang untuk mengorbankan yang paling dicintainya dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Memang, untuk mewujudkan kesatuan dan mengatasi problematika umat dibutuhkan pengorbanan yang tulus dan penuh kesadaran. Karena itu, marilah kita korbankan harta, jiwa dan raga, keluarga, waktu, profesi dan jabatan kita demi terwujudnya kesejahteraan dan kehidupan yang membahagiakan umat Islam. Insya Allah, apa yang di-kurban-kan pasti akan diganti oleh Allah. “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya” (Qs.As-Saba: 39).

E-mail: ahmadsahidin@gmail.com





Selengkapnya...

Qurban, Wujud Syukur Kekasih Allah

Oleh : AHMAD SAHIDIN

TIDAK semata-mata Allah memerintahkan Nabi Ibrahim as memotong putranya yang tercinta, Nabi Ismail as, jika tak ada hikmah yang terkandung dalam perintah tersebut.

Bila melihat kisah Qurban yang terdapat dalam al-Quran yang diperankan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, layaklah kita anggap sebagai peristiwa nyata. Bila ada yang menyatakan hanya simbolik atau tak nyata alias fiktif, berarti telah menganggap kitab suci umat Islam (Al-Quran) tidak benar. Pikiran seperti ini seharusnya segera untuk dijauhkan dari ingatan kita. Sebab qurban jelas sebagai perintah Allah yang tercantum dalam al-Quran Surat.Al-Kautsar ayat 1-2, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.”

Makna Qurban
Setiap ibadah dalam agama Islam pasti mengandung makna atau hikmah yang bermanfaat. Begitu pun ibadah qurban. Qurban sebagai ibadah tahunan merupakam ajaran Allah yang memiliki dimensi vertikal (hablumminallah) dan horizontal (hablumminannas).

Dimensi vertical ini bisa diartikan sebnagai bentuk ketaatan kita kepada Allah dengan melakukan qurban. Yakni sebagai penghambaan kepada Allah, yang pada Nabi Ibrahim diwujudkan dengan menyembelih Nabi Ismail as. Sedangkan pada kita saat ini dengan menyembelih kambing atau sapi, yang dagingnya dibagi-bagikan. Aspek ini sebagai bentuk ajaran sosial dalam Islam (hablumminannas).

Qurban juga bisa dimaknai sebagai penyadaran atas nilai-nilai kebinatangan yang ada pada manusia (diri), sehingga kembali menjadi manusia. Namun ada juga yang memaknainya sebagai upaya untuk mendekat pada Allah. Bila itu yang dipahami dan diyakini, maka ia harus berani mengorbankan yang dicintainya (seperti Nabi Ibrahim as). Tapi pendapat ini argumennya tak begitu kuat. Sebab kalau sebagai keberanian berkorban untuk Allah, bagi seorang hamba yang benar-benar mencintai Allah, korban seekor kambing atau unta bukanlah simbol cinta yang bisa disebut besar. Apalagi ini kepada Allah.

Bukan sekedar cinta
Menurut guru saya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, ibadah qurban tidak hanya wujud cinta, tapi juga sebagai syukur atas nikmat yang diberikan Allah pada kita. Jika kita tetap yakin bahwa qurban sebagai wujud cinta, maka sunguh kecil nilainya dihadapan Allah.

Guru saya memberikan perbandingannya. Jika menyembelih kambing itu sebagai tanda cinta, coba bandingkan antara pengorbanan Nabi Muhammad SAW yang mengorbankan dirinya berhadapan dengan orang-orang kafir yang ingin membunuhnya; atau Nabi Ibrahim as yang menyembelih anaknya sendiri dengan tangannya sendiri. Bandingkan dengan kita yang hanya mengorbankan seekor kambing atau sapi.

Kalau saja Allah tetap menganggap pengorbanan kita dengan seekor kambing sebagai tanda cinta kita pada-Nya, subhanallah, betapa besarnya Kasih-Sayang (Rahman-Rahim) dan Maha Pengampunan Allah kepada kita.

Pada akhirnya, kita harus bertanya pada niat kita sendiri, untuk apa kita ber-qurban? Di situlah letak nilainya. Oleh karena itu, letaknya dalam niat, dalam ungkapan hati, dan dalam apa yang tersirat dalam hati. Itulah masalahnya.

Bila kita menyadari betapa kecilnya pengorbanan kita terhadap yang kita cintai (Allah), semestinya menjadi salah satu dasar supaya kita menyadari untuk semakin bersyukur. Tapi kita lebih banyak meminta suatu “materi” dibandingkan ungkapan rasa syukur dan minta ampunan.

Memang bila direnungi akan tampak diri kita tak ada apa-apanya. Dengan ini maka akan terasa dalam diri bahwa kita kecil di hadapan-Nya. Bila kita memang sudah merasa kecil, berbesar hatilah. Sebab rasa rendah hati di hadapan Allah lebih baik dan bernilai ibadah. Nabi Muhammad Rasulullah SAW pun selaku manusia sempurna, dalam beberapa doanya menyampaikan kelemahannya.

Berikut ini bentuk doa kelemahan yang dibacakan Rasulullah SAW:

“Ya Allah, kepada Engkaulah aku adukan kelemahan tenagaku dan kekurangan daya upayaku pada pandangan manusia.

Wahai Yang Maha Rahim, Engkaulah Tuhannya orang-orang yang lemah dan Engkaulah tuhanku. Kepada siapa Engkau menyerahkan diriku? Apakah kepada musuh yang akan menerkam aku atau kepada keluarga yang Engkau berikan kepadanya urusanku, tidak ada keberatan bagiku asalkan Engkau tidak marah kepadaku. Sedangkan afiat-Mu lebih luas bagiku.

Aku berlindung dengan cahaya wajah-MU yang mulia yang menyinari langit dan menerangi segala yang gelap dan atas-Nyalah teratur segala urusan dunia dan akhirat, dari turunnya murka-Mu kepadaku atau turunnya ketidakridhaan-Mu kepadaku.

Jauhkanlah murka-Mu hingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan-Mu”.

Oleh AHMAD SAHIDIN

Selengkapnya...

Idul Adha Menghilangkan Perbedaan

BANDUNG, (PRLM).- Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Persis tidak ada perbedaan dalam penetapan Iduladha 1429 H/2008 yang jatuh pada Senin (8/12). Sedangkan Depag akan mengadakan rukyat hilal akhir Zulkaidah 1429 H/2008 pada Kamis hari ini (27/11) untuk menentukan Iduladha.

Dalam maklumat Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyebutkan 1 Zulhijah 1429 H jatuh pada Sabtu Legi (29/11) sehingga Hari Arafah (9 Zulhijah) jatuh pada Minggu (7/12). “Sedangkan Iduadha 10 Zulhijjah 1429 H bertepatan dengan Senin (8/12) mendatang,” kata Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jabar, Ustaz H. Jamjam Erawan, di ruang kerjanya Jln. Sancang, Kota Bandung, Kamis (27/11).

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persis, K.H. Shiddieq Amin, mengatakan PP Persis melalui Dewan Hisab dan Rukyat juga menetapkan 1 Zulhijjah jatuh pada Sabtu (29/11) sehingga Iduladha 10 Zulhijjah bertepatan dengan Senin (8/12).

“Ijtimak akhir Zulkaidah 1429 H jatuh pada Kamis (27/11) dengan ketinggian hilal di Pelabuhan Ratu, Kab. Sukabumi, saat Magrib adalah -4 derajat 31 menit 55 detik , sedangkan di Jayapura, Papua, ketinggian hilal mencapai -6 derajat 11 menit dan 48 detik,” katanya.

Ustaz Shiddieq mengharapkan agar Iduladha pada tahun ini tidak terjadi perbedaan penetapan seperti pada awal Ramadan dan Idulfitri kemarin. “Insya Allah kemungkinan besar penetapan Idul Adha akan sama,” katanya.

Sedangkan Depag akan mengadakan sidang Itsbat (penetapan) Idul Adha 1429 H pada Selasa (2/12). Namun, untuk penentuan akhir Zulkaidah akan dilakukan rukyat hilal pada Kamis hari ini


Selengkapnya...

IDUL ADHA - PENGORBANAN, JALAN MENUJU KEJAYAAN

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allah. Akbar!

Alhamdulillah, pagi ini kita semua berkumpul untuk memperingati satu diantara sekian banyak hari-hari Allah. Hari-hari yang kelak akan menjadi saksi tentang jiwa-jiwa suci yang telah berjuang menggapai ketinggian; tentang jiwa-jiwa yang telah memberikan kematian untuk nendapatkan kehidupan. Untuk itulah Allah memerintahkan kita untuk senantiasa rnengingat hari-hari-Nya; agar dengan begitu kita senantiasa menemukan godaan luar biasa untuk berjalan dan mendaki langit ketinggian;

وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

“… dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah”. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. (QS: 14. 5)

Dan hari yang kita peringati ini adalah hari ketika seorang manusia besar, seorang nabi Allah, lbrahim as, sedang menapaki jalan tcrjal menuju ketinggian; menjalani detik­-detik paling rnenggetarkan dalam kehidupan jiwanya dan dalam scgenap gelombang sejarah kemanusiaan; saat-saat ketika ia melampaui batas keraguannya dan memasuki wilayah keyakinan baru dimana ia benar-benar memutuskan untuk menyembelih puteranya tercinta, Ismail as. Dengarlah dialog antara kedua anak manusia itu pada jenak-jenak terakhir menjelaskan mereka tiba pada kesepakatan besar itu;

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَفَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْمَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS: 37: 102).

Tidakkah engkau melihat betapa lbrahim memanggil anaknya dengan sebutan “Bunayya; anakki tersayang?” Tidakkah engkau melihat betapa Ibrahim bertanya kepada anaknya dengan hati- hati; “Cobalah pertimbangkan! Bagaimanakah pendapatmu tentang itu?” Tidakkah engkau merasakan betapa Ibrahim menyembunyikan pergolakan besar yang berkecamuk di relung hatinya? Tapi lihatlah, betapa agungnya sang anak masih sanggup memanggil ayahnya dengan panggilan sayang; “Wahal ayahku teersayang!” Tapi alangkah agungnya sang anak ketika ia menjawab dengan tenang; “Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu!” Dan betapa tegarnya sang anak ketika ia mengatakan; “Niscaya kan kau dapati aku,Insya Allah, sebagai orang-orang yang sabar.”

ltulah momentum pengorbanan paling akbar dalam sejarah manusia. Dan itulah momentum kebesaran paling agung dalam sejarah manusia. Dan itulah hari-hari Allah! Maka dengarlah Allah berkata tentang lbrahim;

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim”. (QS. Al Baqarah ayat 124)

Dan denganlah Allah berkata tentanglsmail as,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا

Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.


Beginilah Sungai Sejarah Mengalir

Allahu akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!

Begitulah kisah pengorbanan itu mengalir dalam sungai sejarah kemanusiaan. Sebab dalam sungai sejarah itu selalu hanya ada darah dan air mata. Tapi hanya itulah; yang dapat mengantar setiap; prihadi menuju muara kebesarannya. Dan hanya itulah yang dapat mengantar setiap umat menuju muara kejayaannya.Demikianlah akhirnya pengorbanan menjadi kisah panjang yang mengalir deras dalam sungai sejarah kemanusiaan.

Lihatlah bagaimana putera Adam, Habil, mempersembahkan hewan terbaik yang ia miliki sebagai persembahan kepada Allah unluk membuktikan kedalaman takwanya.

إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ

“… ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). (Q.S Al Maidah ayat 27)

Lihatlah betapa mirisnya perasaan ibunda nabi Musa saat ia memutuskan untuk melepaskan bayi laki-lakinya terapung dai atas sungai;

إِذْ أَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّكَ مَا يُوحَى(38)أَنِ اقْذِفِيهِ فِي التَّابُوتِ فَاقْذِفِيهِ فِي الْيَمِّ فَلْيُلْقِهِ الْيَمُّ بِالسَّاحِلِ يَأْخُذْهُ عَدُوٌّ لِي وَعَدُوٌّ لَهُ وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي(39)

“…yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan, Yaitu: ‘Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir`aun) musuh-Ku dan musuhnya’. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (QS Thoha ayat 38-39)

Lihatlah bagaimana nabi Yusuf harus mengorbankan masa mudanya di dasar sumur yang gelap, lalu dalam penjara yang begitu melelahkan;

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ

Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf ayat 33)

Lihatlah bagaimana nabi Nuh mengorbankan 950 tahun dan masa hidupnya untuk dakwah dan akhirnya hanya mendapat dua belas pasang pengikut;

إِنَّا أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ أَنْ أَنْذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ(1)قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ(2)أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ(3)يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرْكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ أَجَلَ اللَّهِ إِذَا جَاءَ لَا يُؤَخَّرُ لَوْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(4)قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا(5)فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا(6)وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي ءَاذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا(7)ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا(8)ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا(9)

Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan): “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih”. Nuh berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu, (yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan ta`atlah kepadaku, niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui”. Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, (QS. Nuh Ayat 1-9)

Lihatlah bagaimana nabi Musa as dan Harun as melewati jalan terjal untuk menyampaikan dakwah dan harus menghadapi seorang thagut besar yang mengklaim diri jadi Tuhan yaitu Fir’aun? Lihatlah bagaimana Ashabul kahfi harus mengorbankan masa muda mereka dan meninggalkan kota mereka untuk mempertahankan agama mereka dan meminta kenyataan bahwa rnereka harus hidup dalam gua.

Lihatlah bagaimana nabi kita, Muhammad saw, harus berkorban demi dakwahnya sepanjang 22 tahun, 2 bulan dan 22 han? Lihat pula bagaimana sahabat-­sahabat beliau dan kaum Muhajirin harus meninggalkan tanah asalnya, anak isterinya, serta semua harta benda mereka, demi mempertahankan dan melebarkan sayap agama mereka? Lihat pula bagaimana orang-orang Anshar di Madinah yang notabene miskin harus menyambut saudara-saudara mereka kaum Muhajirin dari Mekkah yang datang tanpa apa-apa? Maka Allah berkata tentang nabi-Nya, Muhammad saw;

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Dan Allah berkata tentang Kaum Muhajirin


(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. Al Hasyr Ayat 8 )

Dan Allah berkata tentang kaum Anshar;

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Al Hasyr ayat 9)

Dan tentang mereka semua:

وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni`mat) yang mulia.” (QS. AL Anfaal ayat 74)

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud (QS. Al Fath ayat 29)


(3)

Mengapa Harus Ada Pengorbanan


Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Allahu Akbar!

Dalam jiwa kita mungkin tcrsimpan satu pertanyaan; “Mengapa Sungai sejarah kemanusian selalu harus sialiri oleh darah dan air mata? Mengapa kita harus selalu berkorban? Tidak bisakah Allah menjadikan hidup ini tenang , dimana manusia hanya menyembah-Nya, dimana manusia hanya punya satu agama, dimana manusia dimana manusia tidak berbeda dalam pikiran, jiwa dan watak, diumana dunia ini menjelma taman kehidupan yang indah?”

Allah mengetahui dengan baik bahwa setiap manusia menyimpan pertanyaan itu dalam batinnya. Sama seperti Allah juga mengetahui bahwa Ia bisa melakukan semua itu; Ia bisa membuat manusia hidup (damai dengan hanya satu agama, Tanpa pertentangan diantara mereka, tanpa konflik, tanpa darah dan air mata, dimana hanya ada kegembiraan, dimana hanya ada cinta, dimana hanya ada lagu-lagu kehidupan yang indah. Maka dengarlah Allah berfirman;

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً

“…Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),..(QS:5: 48).

Begitulah akirnya Allah mempertemukan kita dengan hakikat ini; yaitu hakikat bahwa hidup sepenuhnya hanyalah ujian semata dari Allah, dan bahwa hanya ada satu kata kunci dalam setiap ujian; duri-duri di sepanjang jalan kehidupan ini harus dilalui dengan penuh pertanggungjawaban. Simaklah firmian Allah;

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS 67: 2,).
Tapi masih ada satu hakikat lain lagi yang membuat ujian kehidupan menjadi semakin berat dan rumit. Hakikat itu adalah ini; Allah ternyata tidak menurunkan Adam dan Hawa sendiri ke bumi. Allah menurunkan mereka berdua bersama Iblis yang akati menyesatkan Adam beserta segenap anak cucunya hingga hari kiamat dari jalan kebenaran. Selain Iblis yang ada di Iuar diri kita, di dalam diri kita sendiri juga terdapat unsur setan yang menjadi pusat pendorong kepada perbuatan jahat. Maka hakikat ini telah nienjadikan panorama kehidupan kita akan senantiasa dipenuhi konflik antara kebaikan dan kejahatan, antara kebenaran dan kebatilan, antara tentara Iblis dan tentara Allah. Di sini tidak ada pilihan untuk tidak memihak. Dan karenanya setiap orang pasti harus berkorban, sebab setiap orang pasti terlibat dalam pertarungan abadi ini. Kalau seseorang tidak berada dalam kubu kebenanan, pastilah dia berada dalam kubu kebatilan. Dan tidak ada kubu pertengahan.

فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ

Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”. (‘Q.S: 2: 36)

Demikianlah kedua hakikat tersebut menjadikan pengorbanan sebagai keniscayaan hidup. Dan hanya ada satu hal yang kelak akan memutus siklus pengorbanan yang begitu melelalikan manusia ini; yaitu kematian! Ya. .hanya itu yang akan membebaskan kita dan pengorbanan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!

Kalau pengorbanan telah melekat begitu kuat dalam tabiat kehidupan, maka begitulah pengorbanan menjadi wajah abadi bagi iman. Sebab Allah hendak memenangkan agama-Nya di muka bumi dengan usaha-usaha manusia yang maksimal. Marilah kita menyimak diaolog antara Saad Bin Abi Waqqas dengan Rasulullah saw berikut ini;

Dan Saad binAbi Waqqas; is berkata; “Wahai Rasulullah, siapakah yang mendapat cobaan paling berat?” Rosulullah menjawab; “Para Nabi, lalu yang paling menyamai (kualitas) nabi. Dan seseorang akan diuji dengan sesuai dengan kemampuannya. Jika di dalam keagamaan terdapat kekuatan, maka cobaannya akan semankin keras. Dan Jika ada kelelamahan dalan agamannya, ia hanya akan diuji sesuai dengan kadar keagamaannya itu. Maka cobaan tidak akan pernah meninggalkan seorang hamba, hingga ia membiarkan hamba itu berjalan di muka bumi tanpa sedikitpun dosa.”HR Ibnu Najah dari Saad bin Abi Waqqas; sebagaian maknanya terdapat juga dalam shahih Bukhari dan Muslim)

Begitulah saudara-saudaraku, pengorbanan menjadi harga mati bagi iman; dimana geliat imanmu hanya akan terlihat pada sebanyak apa engkau berkorban, pada sebanyak apa engkau memberi, pada sebanyak engkau lelah, pada sebanyak apa engkau menangis; dan puncak dari segalanya adalah saat dimana engkau menyerahkan harta dan jiwamu sebagai persembahan total kepada Allah swt. Maka bertanyalah kepada diri sendiri; sudah berapa banyak yang engkau berikan? Sudah berapa banyak engkau meneteskan air mata?, Sudah berapa banyak engkau lelah?, Sudah berapa banyak?, Sudah berapa?, Sudah berapa banyak?

Begitulah saudara-saudaraku, pengorbanan menjadi harga mati bagi kemenangan. Setiap mimpi kemenangan dan kejayaan selalu diawali dengan kisah panjang pengorbanan. Maka Nabi lbrahim dinobatkan sebagai pemimpin umat manusia setelah Ia menyelesaikan kisah pengorbanannya yang begitu panjang dan begitu mengharubiru. Dan Rasulullah saw mencapai kemenangan akhirnya setelah melalui masa-masa pengorbanan yang penuh darah dan air mata.

(4)

Jalan Kembali Itu Hanya Ada Di Sini

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!

Para nabi dan sahabat-sahabatnya telah menggariskan jalan kemenangan itu bagi kita; bahwa harga yang harus dibayar untuk itu adalah pengorbanan. Dan kita, kaum muslimin, yang kini terpuruk dalam semua bidang kehidupan, kalah dalam semua medan tempur, dan harus rela untuk hanya berada di pinggiran sejarah; harus benar­-benar menyimak pelajaran itu dengan baik. Sebab Imam Malik mengatakan;

“Generasi tenakhir umat,
tidak akan menjadi baik,
kecuali hanya dengan dengan apa
yang telah menjadikan generasi pertama menjadi baik.”Seorang sastrawan Muslim, Musthafa Shadiq AI-Rafi’i mengatakan; “Sesungguhnya kemenangan dalam pertarungan hidup tidaklah diperoleh dengan harta, kekayaan dan, kesenangan; tapi dar perjuangan keras, keetgaran dan kesabaran. Dan bahwa kemajuan manusia tidaklah diperjualbelikan bergitu atau diberikan secara gratis; tapi sesuatu yang kita cabut dengan paksa dari peristiwa-peristiwa kehidupan dengan kekuatan karakter yang dapat mengalahkan krisis dan tiadak dimatikan oleh krisi.lnilah jalan kembali itu; saat dimana cita-cita menuju ketinggian menguasai segenap pikiran dan jiwamu; saat dimana engkau melepaskan ikatan jiwamu dengan dunia dan engkau mulai terbang ke angkasa yang luas; saat dimana engkau menemukan sang iman telah memberimu gelora kekuatan jiwa yang dahsyat; maka engkau mulai bergerak bersama agama ini dan untuk agama ini; maka engkau duduk termenung Iama untuk melahirkan gagasan besar demi agama ini; maka engkau marah dan sedih dan benci dan gembira hanya karena dan untuk agama ini; maka tak ada satu detik pun dari waktumu yang berlalu begitu saja tanpa engkau gunakan untuk agama ini; maka semua harta yang engkau peroleh dan bekerja dan berdagang atau Iainnya tak engkau gunakan kecuali hanya untuk agama ini; maka engkau terus bekerja, memberi dan memeras seluruh tenaga fisikmu untuk agama ini.Itulah manusia-manusia yang dibutuhkan Islam saat ini. Manusia-manusia yang memiliki semua syarat untuk menciptakan peristiwa dan mengukir sejarahnya dengan tangannya sendiri; visi keislaman yang dapat menyinari kehidupan, tekad yang selalu dapat mengalahkan semua krisis, akhlak yang selalu dapat mengalahkan godaan. Dan manusia-manusia besar selalu hadir di tengah krisis, dan setiap krisis besar dalam sejarah sebuah masyarakat atau bangsa, pada mulanya selalu diselesaikan oleh sentuhan tangan dingin manusia-manusia besar itu. Dan begitulah pengorbanan menjadi bibit kebesaran manusia-manusia Muslim.

Saudara-saudaraku! Maka berjanjilah kepada dirimu untuk melakukan itu. Buatlah perjanjian sekali Iagi dengan Allah; bahwa segenap hidup dan matimu, segenapjiwa dan pikiranmu, segenap harta dan waktumu, telah engkau jual kepada Allah swt yang akan dibayarnya – kelak- dengan surga;

إن اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. At Taubah ayat 111. (by Al Manar)


Selengkapnya...

Idul Adha

Pagi itu, cuaca tidak begitu bersahabat. Mendung menggelayut seakan gerimis akan segera turun. Namun, cuaca itu seakan tidak menyurutkan gema takbir di halaman Expo Jatim yang terbuka itu. Puluhan orang tampak berbodong-bondong menuju lokasi yang sama. Kebanyakan didominasi oleh ibu-ibu dan remaja putri.

Saya, yang sedang tidak enak badan itu, memilih bergabung dengan mereka. Jaraknya lumayan dekat, cuma beberapa meter saja. Jadi saya tidak perlu pergi ke masjid yang jaraknya lebih jauh. Apalagi, dalam sambutan panitia, Rasulullah, katanya, setiap memperingati Idul Fitri dan Idul Adha selalu di lapangan terbuka. “Ada hadits dhaif (lemah) yang mengatakan beliau salat di masjid, namun dalam keadaan gerimis. Itu pun riwayat yang lemah,” ujar ketua panitia dalam sambutannya meyakinkan para jamaah.

“Sesuai dengan hisab Muhammadiyah dan rukyah NU, Idul Adha jatuh pada hari ini, 31 Desember 2006. Meskipun ada yang tidak sama, tatapi harus yakin bahwa hari ini merupakan Idul Adha untuk wilayah Indonesia, sebagaimana hisab dan rukyat yang telah dilakukan oleh para ulama.”

Angin bersemilir kencang membuat badanku jadi tambah meriang. Saya berharap semoga tidak turun gerimis. Andaikata gerimis datang, saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi para jamaah itu. Tentu saja akan buyar, atau masing-masing berkerudung sajadah yang tidak bisa melindungi.

Dengan beralaskan tikar koran, kami (mereka dan saya) berbaris. Lantunan takbir berkali-kali diselingi dengan imbauan untuk menempatkan pada posisi. Karena area lapangan masih luas di sisi selatan, para jamaah diimbau untuk menempati bagian selatan yang telah disediakan panitia. “Salat Idul Adha dengan khutbah itu satu paket. Jadi, tidak boleh meninggalkan tempat tanpa mengikuti khutbah,” ujar panitia mewanti-wanti sebelum salat dimulai.

Salat dua rakaat itu pun kemudian dimulai. Saya lega karena cuaca juga semakin cerah. “Mengangkat tangan hanya pada takhiratul ikhram saja,” ujar sang imam menjelaskan tata cara salat. Namun ternyata banyak juga yang memangkat tangan mereka ketika takbir bergema. Rupanya, imbauan-imbauan ‘khas Muhammadiyah’ itu tidak membuat para pengikut NU melaksanakan tata caranya.

Setelah salat, khutbah pun dimulai. Sang khatib menceritakan kembali sebuah kisah tentang bapak pendiri agama langit: Ibrahim a.s. Sebagaimana yang khas dalam setiap khutbah Idul Adha, momentum yang langka pada waktu itu, direfleksikan kembali dalam simbolis-simbolis oleh miliaran umat. Sebagaimana ritual haji, itu tidak lain adalah sebuah gambaran nyata dari apa yang dialami oleh Ibrahim dan keluarganya.

Di zaman yang masih begitu primitif, ternyata Ibrahim mempunyai kesadaran akan Sang Pencipta. Sungguh pemikiran yang hebat di kala itu. Sehingga, dalam pencariannya, ia pernah menjadikan bintang, bulan, dan matahari sebagai sumber kekuatan. Namun, ia kemudian berontak, karena tidak ia dapati sifat-sifat tuhan ada dalam benda-benda tersebut.

Kisah Ibrahim ia ceritakan dengan gamblang, sampai pada ujian kecintaan pada Tuhan atau anak si biji matanya. Ibrahim, bapak dua dua golongan besar dunia, kemudian berhasil melaksanakan perintah Allah: mengorbankan apa yang dicintainya. Allah menggantinya dengan domba, yang mewakili sifat kehewanan.

Yang menarik dari isi khutbah itu, menurutku, ternyata banyak yang berhaji berkali-kali namun tidak dapat mengambil refleksi dari perjalanan yang dialami oleh Ibrahim. Harusnya, orang yang sudah haji yang umumnya kaya itu, semakin tumbuh rasa asih dengan mengorbankan apa yang ia cintai untuk kebaikan bersama. Dengan begitu, kesenjangan tidak akan terjadi.

Kelaparan yang melanda jamaah haji tahun ini, bisa jadi merupakan refleksi dari bangsa yang penduduknya berperut kosong. Adakah itu pertanda? Entah…

Selamat Idul Adha!


Selengkapnya...

Pesan Spritual Ibadah Haji

Pesan Spritual Ibadah Haji

Merupakan kebiasaan kita berziarah kepada orang yang melaksanakan ibadah haji sebelum dan sesudahnya, yaitu dengan ditambah dengan minta doa jika sesudahnya. Kaitannya dengan masalah ini adalah doa Rasulullah SAW yang artinya : “Ya Allah ampunkanlah orang yang haji dan orang yang dimintakan ampun orang yang haji”.

Sebagian ulama berkesimpulan bahwa doa orang yang haji itu dikabulkan oleh Allah SWT semenjak ia tanah Haram sampai empat puluh ari setelah ia masuk rumahnya, mengingat ia telah menginjakkan kaki di tempat-tempat yg yang mustajab seperti multazam, maqom Ibrahim, Raudhah dan seterusnya. Disamping itu sesungguhnya semua perintah syari’at selain merupakan ibadah yang ada pahalanya juga ada nilai-nilai spiritualnya. Puasa umpaanya, nilai spiritualnya adalah agar kita merasa peduli kepada saudara-sudar kita yang kurang mampu dari segi ekonomi. Zakat memiliki nilai piritual agar kita melawan sifat-sifat yang tak terpuji yang bercokol dalam diri kita, yag dalam hal ini khususnya sifat bakhil. Sifat bakhil pasti ada dalam diri setiap manusia sebagaimana juga sifat dermawan. Kedua sifat ini akan terus bertolak belakang dan yang menang itulah yang akan menonjol dalam perilaku orang tersebut. Seperti demikian juga yang ada pada sifat sabar dan emosional. Keduanya merupakan sifat bawaan sejak lahir. Mana yang lebih dominan antara keduanya, itulah yang akan mewarnai peilaku seseorang. Adapun tentang ibadah haji, Allah berfirman:

َوأذنْ فِى الَّناِس بِالحَجِّ يَأتُوكَ ِرجَالاً وَعَلى كُلِّ ظامِرٍ يأتون ِمن كلِّ فجٍ عَمِيق

“Suruhlah kepada umat manusia untuk melaksanakan ibadah haji niscaya mereka akan datag dari seluruh penjuru dunia dengan berjalan kaki dan naik unta-unta yang kurus”

Sebagian ulama’ mengartikan bahwa “naik unta-unta yang kurus” merupakan gambaran kesukaran dan kelelahan yang dialami oleh para jama’ah haji, termasuk cuaca yang amat panas atau waktu musim angin yang menerbangkan butiran-butiran pasir. Tapi walapun demikian kaum muslimin akan tetap berbondong-bondong untuk melaksanakannya, karena itu sudah nerupakan janji Allah. Bahkan Allahpun berjanji bahwa yang melaksanakan ibadah haji tidak akan kurang dari enam ratus ribu orang. Seandinya kurang, maka Allah akan mengutus para malaikat unuk berbaur bersama para manusia untuk melaksanakan ibadah haji.

Tentang pesan spiritual yang tersimpan dalam ibadah haji adalah agar para jam’ah melihat tempat-tempat yang pernah disinggahi oleh manusia termulia, Rasulullah SAW disamping menyaksikan orang yang sedemikian banyak dalam keadaan kelelahandan kecapaian ketika melaksanakan haji. Disana terpancar wajah-wajah yang penuh ketundukan, kepatuhan, dankepasrahan dalam waktu dan tempat yang sama. Berjuta-juta orang bersama-sama melantunkan talbiyah dan tahmid yang selama ini belum ada tempat yang sanggup menghimpun manusia dalam jumlah yang sangat banyak disaat yang sama. Bagi orang yang melaksanakan ibadah haji khususnya, hal itu akan menggerakkan hatinya untuk lebih mengakui keagungan dan kebesaran Allah SWT yang juga berarti akan menambah kuat keimanannya.

Yang paling penting dalam melaksanakan ibadah haji adalah niatnya harus benar-benar karena dan untuk Allah, sebab ibadah haji adalah ibadah yang terbuka yang akan diketahui oleh masyarakat sekampung atau sekelurahan. Hal ini tentu sangat rawan terhadap serangan virus-virus yang akan menghilangkan nilai pahala seperti tersebut diatas Rasullullah juga saw yang artinya: ketika zaman sudah akhir orana-orang yang melaksakan ibadah haji terbagi pada empat kelompok. Pertama kelompok penguasa dan petinggi Negara mereka berhaji untuk wisata. Ke dua kelompok konglomerat mereka berhaji untuk berbisnis. Ketiga kelompok fuqoro’ dan masakin mereka berhaji untuk meminta-minta, mungkin muncul pertanyaan apa mungkin orang-orang miskin berhaji, mungkin bagi mereka-mereka yang tempat tinggalnya tidak jauh dari Tanah Haram. Kalau tempat tinggalnya di Indonesia tentu dan pasti mereka orang-orang kaya, keempat orang-orang yang berilmu mereka berhaji untuk mencari nama.

Tetapi kita tidak boleh salah dalam mempraktekkan hadits di atas, artinya hadits itu tidak untuk di gunakan menilai para jamaah haji tetapi merupakan warning bagi mereka agar extra hati-hati jangan sampai mereka termasuk salah satu dari empat golongan tersebut, sama halnya dengan masalah haji mabrur tidak ada yang tahu bahkan yang bersangkutan sendiri kecuali Allah swt, tetapi para ulama’ memberikan tanda-tanda bagi haji yang mabrur yaitu mereka akan lebih baik di banding dengan sebelum melaksanakan haji, sekali lagi kita tidak boleh mengatakan hajinya fulan tidak mabrur sudah haji kok begini begitu dan seterusnya, karena mabrur dan tidaknya itu urusan Allah swt. Dan yang bersangkutan, akan tetapi bagi mereka yang yang sudah melaksanakan ibadah haji merka harus melihat dirinya kembali, apakah ibadahnya sudah semakin baik, apakah shodaqohnya semakin banyak, apakah lebih tersentuh kepeduliannya dan kemanusiaannya melihat penderitan orang lain dan ketidak adilan dan begitu seterusnya, dan bila ia dapati semua itu berbahagialah dan bersyukurlah karena tanda-tanda haji mabrur ada pada dirinya yang kelak balasannya adalah surga sebaliknya bila ia tidak dapati tanda-tanda tersebut berarti dia telah mengorbankan watu, tenaga, dan harta pada kesia-siaan semogah ibadah kita semuanya di terima oleh Allah swt.


Ibadah haji merupakan puncak peribadatan seorang muslim sebagai penunaian rukun Islam yang ke lima. Ulama menganalogikan haji sebagai pagar bagi sebuah bangunan, dimana berfungsi untuk menjaga dan memperindah bangunan tersebut. Namanya juga pagar, boleh jadi harus dibuat, jika mampu, namun jiga tidak mampu, ya tidak apa-apa.

Berbeda dengan rukun Islam yang lain. Syahadat diibaratkan dengan pondasi, dan karenanya harus kuat. Shalat lima waktu ibarat tiang, yang juga harus kokoh. Puasa ibarat dinding, yang juga harus berdiri kuat. Dan zakat merupakan atap, dimana berfungsi untuk mengayomi isi bangunan.

Ibadah haji, hanya dilaksanakan bagi mereka yang sudah mampu. Allah swt berfirman, “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” QS. Ali Imran : 97.

Yang dimaksud dengan sanggung atau mampu di sini yaitu sanggup mendapatkan perbekalan, alat transportasi, sehat jasmani dan perjalananpun aman.

Semua orang mendambakan bangunan rumahnya memiliki pagar yang menarik dan rapi. Begitu juga setiap muslim pasti merindukan berziarah ke Baitullah Al Haram. Kita berdo’a agar Allah swt memudahkan kita untuk berziarah ke rumah-Nya. Berziarah tidak hanya untuk menunaikan ibadah haji, namun bisa umrah, ziarah makam Nabiyullah Muhammad saw. para sahabatnya dan napak tilas sejarah dari masa ke masa. “Ya Allah, Mudahkanlah bagi kami berziarah ke rumah-Mu yang mulya dan berziarah ke makam nabi-Mu yang Engkau Mulyakan.”

Persiapan Haji

Pertama, Biaya yang Halal.

Satu-satunya ibadah yang membutuhkan biaya tinggi, paling tidak untuk muslim Indonesia adalah ibadah haji. Kurang-lebih lima puluh juta harus disiapkan untuk biaya ibadah haji. Dana yang besar itu harus dihasilkan dari sumber yang halal. Dalam sebuah hadits sahih diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Baik, Dia tidak menerima sesuatu (amalan) kecuali dari sumber yang baik.” HR. Muslim (Sahih Muslim, Jilid 5, Hal. 192).

Seseorang yang menunaikan ibadah haji dari sumber biaya yang haram, maka ketika ia menyeru, “Labbaikallahumma labbaik, Aku penuhi panggilan-mu Ya Allah.” Maka Allah swt langsung menolaknya, “Tidak ada kata selamat datang bagimu, tidak ada sambutan kebaikan bagimu.” Wal iyadzubillah.

Ada kisah menarik di zaman nabiyullah Musa alaihissalam, dimana ketika itu kaumnya sedang dilanda paceklik dan kemarau panjang. Maka nabiyullah Musa mengumpulkan kaumnya bersama-sama untuk beristighatsah, memohon kepada Allah swt agar segera diturunkan hujan. Serentak mereka menengadahkan tangan berseru, namun dijawab Malaikat dengan suara lantang, “Tidak aka dikabulkan do’a-do’a kalian, sampai salah seorang di antara kalian keluar dari barisan, karena ia telah memakan harta yang haram. Nabiyullah Musa tidak berani dan tidak mengetahui siapa yang dimaskud. Dan orang yang merasa sumber masalahpun tidak berani keluar dari barisan sehingga semua orang pasti akan mengetahui kejelekannya. Mereka berdo’a berulang-ulang, dan disambut jawaban yang sama dari Malaikat. Sampai akhirnya orang yang memakan barang haram menjerit hatinya, menyesal gara-gara ia semua jadi susah. Ia bertaubat dengan sungguh-sungguh. Seketika itu Allah swt menurunkan hujan.”

Kedua, Ikhlas karena Allah swt Semata

Menunaikan haji bukan karena malu dengan orang lain, seperti seorang atasan berangkat haji karena bawahannya sudah berhaji. Atau ingin dipanggil dengan gelar ”pak haji”. Atau menjadi bukti status sosial di masyarakat. Tidak karena itu, munanaikan haji hanya dilandasi oleh ketulusan dan keridhoan Allah swt semata sebagai wujud penghambaan kepada-Nya.

Seseorang yang berangkat haji dengan niat ikhlas, akan di kabulkan do’anya ketika berdo’a, diberi ampun ketika beristighfar. Rasulullah saw bersabda diriwayatkan dari Abu Hurairah, ”Orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah adalah tamu-tamu Allah. Jika mereka berdoa, pasti akan dikabulkan. Jika mereka minta ampun, pasti diampuni.” HR. Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, Jilid 8, Hal. 439).

Ketiga, Berbekal Taqwa

Allah swt berfirman dalam rangkaian ibadah haji agar membekali diri dengan taqwa, yaitu sikap siap taat terhadap apa yang Allah swt perintahkan dan Rasul-Nya kerjakan serta siap meninggalkan segala apa yang Allah swt larang dan Rasul-Nya jahui. Ketika malaksanakan ibadah haji. ”Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.” QS. Al Baqarah : 197.

Termasuk bekal di sini adalah bekal materi sehingga di tanah Suci tidak kehabisan bekal dan akhirnya meminta-minta.

Keempat, Menguasai Ilmu tentang Ibadah Haji

Para ulama ushul sepakat bahwa ilmu itu lebih penting dan didahulukan dari pada amal perbuatan. Karena amal perbuatan yang tidak didasari ilmu pengetahuan, selain tidak akan diterima justru mengarah pada membuat-buat hal yang baru yang dilarang agama.

Ilmu yang harus diketahui seputar haji adalah yang berkaitan dengan rukun haji, dimana rukun haji bila tidak dilaksanakan hajinya menjadi tidak sah.

Adapun rukun haji adalah sebagai berikut :

1. Ihram, yaitu mengenakan pakaian ihram dengan niat untuk haji atau umroh di miqat makani.

2. Wukuf di Arafah, yaitu berdiam diri, berdzikir, berdo’a, beristghfar di padang Arafah pada tanggal 9 Dzul Hijjah.

3. Thawah Ifadhah, yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, dilakukan sesudah melontar jumrah Aqabah pada tanggal 1o Dzul Hijjah.

4. Sa’i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, dilakukan sesudah Thawaf Ifadhah.

5. Tahallul, yaitu bercukur atau menggunting rambut sesudah selesai melaksanakan sa’i.

6. Tertib, yaitu mengerjakannya sesuai dengan urutannya serta tidak ada yang tertinggal.

Yang juga diketahui adalah Wajib Haji, Adalah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji sebagai pelengkap Rukun Haji, yang jika tidak dikerjakan harus membayar dam (denda). Yang termasuk wajib haji adalah :

1. Niat Ihram, untuk haji dan umrah dari Miqat Makani, dilakukan setelah berpakaian ihram.

2. Mabit (bermalam) di Muzdalifah pada tanggal 9 Dzulhijjah (dalam perjalanan dari Arafah ke Mina).

3. Melontar Jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah.

4. Mabit di Mina pada hari Tasyrik (Tanggal 11,12,13 Dzulhijjah).

5. Melontar Jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah pada hari Tasyrik.

6. Thawah Wada’, yaitu melakukan perpisahan sebelum meninggalkan kota Makkah.

7. Meninggalkan perbuatan yang dilarang waktu ihram, seperti memakai wangi-wangian, menyisir, menggunting kuku atau rambut, berpakaian berjahit.

Kelima, Mengetahu Ilmu tentang Safar

Ibadah haji atau umrah adalah ibadah yang memakan waktu panjang dan tempat yang jauh. Berarti terkait dengan safar atau perjalanan. Dalam fiqh orang yang sedang mengadakan perjalanan mendapatkan dispensasi-dispensasi dari Allah swt, seperti bertayamum, shalat di jama’ atau digabung, shalat di qashar atau di perpendek menjadi dua rekaat.

Disinilah apresiasi agama Islam yang begitu besar terhadap ibadah ini, selain dispensasi diatas, ternyata safar itu sendiri menjadi ibadah yang berdiri sendiri, sehingga kita disunnahkan untuk berdoa ketika akan berangkat, mendo’akan dan dido’akan.

Bahkan do’a yang tidak akan tertolak adalah do’a yang dilaksanakan pada saat sedang dalam safar.

Ketika Di Tanah Suci

Pada dasarnya ibadah haji itu membutuhkan waktu lima hari saja, terhitung sejak tanggal 9 Dzulhijjah sampai 13 Dzulhijjah, inilah yang terkait dengan rukun haji. Tidak ada bacaan-bacaan khusus atau do’a-do’a khusus dalam praktek ibadah haji. Do’a yang masyhur dilantunkan adalah do’a sapu jagat, ”Rabbana aatina fiddunya hasanah wafilaakhirati hasanah waqina adzabannar.”

Hal-hal yang harus dihindari ketika melaksanakan ibadah haji di antaranya: berkata tidak senonoh atau yang mengundang syahwat, bersetubuh, berbuat fasik atau dosa, bertengkar. Allah swt berfimran:

”(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (Kata-kata yang menimbulkan birahi atau bersetubuh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” QS. Al Baqarah : 197

Ibadah haji lebih banyak berkaitan dengan fisik. Mengelilingi Ka’bah, lari-lari kecil, melempar jumrah, wukuf di terik matahari di padang Arafah. Semuanya membutuhkan fisik yang sehat dan prima.

Hal lain yang harus dikuatkan adalah kesabaran, memaafkan, mendahulukan saudara, menolong sesama. Bisa dibayangkan lebih dari dua ratus juta manusia berkumpul di satu tempat dalam satu waktu.

Sekembali di Tanah Air

Yang jauh lebih berat untuk mempertahankan kemabruran ibadah haji adalah pasca pelaksaannya atau ketika dalam kehidupan sehari-hari. Tanda kemabruran seseorang bisa dilihat dari perubahan pada dirinya. Adakah perubahan menjadi lebih baik dari sebelumnya dan istiqamah dalam ketaatan sampai akhir hidupnya, atau sama saja dengan sebelum menunaikan ibadah haji?.

Haji yang diterima Allah swt adalah haji yang mabrur. Berbahagialah orang yang meraih haji mabrur, sebab haji mabrur tiada balasannya kecuali surga. Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, Haji mabrur tiada balasannya kecuali surga. Dan dari pelaksanaan umrah ke umrah yang lain akan menghapus kesalahan antara keduanya.” HR. Imam Ahmad (Musnad Imam Ahmad, Jilid 15, Hal. 91).

Sudah saatnya umat Islam meluruskan niat, bersungguh-sungguh dalam menunaikan ibadah haji, dan menjaga semangat haji dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan lahir perubahan-perubahan yang sangat signifikan dalam kehidupan pribadi yang otomatis akan berdampak pada kehidupan sosial dan berbangsa.

Bangsa ini sangat berhajat terhadap masyarakat yang berakhlakul karimah, bermoral, memiliki idealisme yang luhur yang bersumber dari keyakinan yang benar, sehingga keberkahan-keberkahan Allah swt akan segera turun di bumi pertiwi yang kita cintai. Allahu a’lam.




Selengkapnya...

Ibadah Haji & Umrah

Syarat Ibadah Haji dan Umrah



SYARAT-SYARAT ibadah haji dan umrah ada yang bersifat khusus bagi laki-laki dan wanita dan ada juga yang bersifat umum. Syarat-syarat yang bersifat umum adalah sebagai berikut.

Muslim, karenanya orang kafir tidak sah hajinya, karena mereka tidak cakap untuk melaksanakan seluruh ibadah dalam Islam.
Balig dan berakal. Oleh sebab itu, ibadah tidak diwajibkan bagi anak kecil dan orang gila, karena mereka belum cakap untuk bertindak hukun Apabila orang gila melaksanakan haji atau umrah maka haji dan umrahnya itu tidak sah. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW: "Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (orang), yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia bermimpi, dan dari orang gila sampai ia sembul (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmizi).

Ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i, dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa jika anak kecil melaksanakan ibadah haji, maka hajinya sah, tetapi ia tetap berkewajiban mengulangi ibadah hajinya setelah dewasa. Pahala haji anak kecil itu dilimpahkan kepada orang tuanya yang juga haji. Hal ini sejalan denqan sabda Rasulullah SAW dari *Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam an-Nasa'i.

Dalam hadis itu diceritakan bahwa seorang wanita melaksanakan ibadah haji dan ia didampingi anaknya yang belum dewasa. Ketika wanita ini bertemu Rasulullah SAW wanita itu bertanya: " Apakah anak ini boleh melaksanakan ibadah haji?" Rasulullah SAW menjawab: "Boleh, dan pahalanya bagimu." Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Hanafi, haji anak kecil itu tidak sah sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah dan Imam at-Tirmizi di atas. Di samping itu, mereka juga menganalogikan haji anak kecil ini dengan *nazar mereka. Menurut ularna Mazhab Hanafi, nazar anak kecil tidak wajib dipenuhi, demikian juga dengan hajinya juga tidak sah, karena anak kecil belum cakap dibebani hukum.


M SYAIFULLAH /Jumat/28 November 2008/01:53 WIB


Merdeka, karenanya hamba sahaya (*budak) tidak wajib melaksanakan ibadah haji, karena haji memerlukan waktu yang panjang. Jika mereka mengerjakan haji, maka kepentingan tuannya akan terabaikan.
) Memiliki kemampuan fisik, harta dan dalam keadaan amman, yaitu mempunyai kemampuan untuk sampai ke Mekah dalam keadaan aman. Hal ini didasarkan kepada firman Allah swt dalam surah Ali'Imran (3) ayat 97 di atas. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat ulama fikih tentang kriteria "kemampuan dalam melaksanakan ibadah haji" tersebut.

Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, kemampuan itu mempunyai tiga unsur, yaitu kekuatan badan atau fisik, kemampuan harta, dan keamanan di perjalanan dan di Tanah Suci, baik bagi laki-laki maupun bagi wanita. Menurut ularna Mazhab Syafi 'i, kemampuan itu mengandung tujuh unsur, yaitu kekuatan fisik; kemampuan harta, tersedia alat transportasi; tersedianya kebutuhan pokok yang akan dikonsumsi di Tanah Suci; keadaan di perjalanan dan di Tanah Suci dalam keadaan aman; jika yang beribadah haji itu adalah istri, maka harus didampingi suami atau mahram lainnya; dan seluruh kemampuan itu diperhitungkan sejak bulan Syawal sampai berakhirnya amalan-amalan haji.

Sedangkan ulama Mazhab Hanbali hanya menafsirkan kemampuan itu dalam dua hal, yaitu kemampuan di bidang harta dan keamanan di perjalanan dan di Tanah Suci. Ulama Mazhab Hanbali tidak memberikan penafsiran yang luas terhadap pengertian kemampuan tersebut, karena mereka mengikatkan diri dengan pengertian kemampuan yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW. Dalam hadis Rasulullah SAW diceritakan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang pengertian "kemampuan untuk melaksanakan haji" tersebut. Rasulullah SAW menjawab: "Kelebihan harta dan keamanan perjalanan " (HR. ad-Daruqutni dari Jabir bin Abdullah, hadis yang sama juga diriwayatkan at-Tirmizi dari Umar).

Menurut ulama fikih, syarat-syarat khusus dalam melaksanakan haji bagi wanita adalah sebagai berikut:

Harus didampingi suami atau mahramnya. mereka tidak mempunyai suami atau mahram, maka haji tidak wajib bagi mereka. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah SAW: "Seorang wanita tidak boleh melakukan perjalanan yang memakan waktu tiga hari, kecuali didampingi mahramnya" (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal dari ibnu Umar). Dalam hadis lain Rasulullah SAW berbda: "Istri tidak boleh melaksanakan ibadah haji kecuali didampingi suami" (HR. ad-Daruqutni).

Ulama Mazhab Syafi'i menyatakan bahwa jika ada beberapa wanita yang dapat dipercaya mendampingi wanita yang tidak mempunyai suami atau mahramnya naik haji, maka wanita yang tidak punya suami atau mahram ini wajib melaksanakan ibadah haji. Menurut ulama Mazhab Maliki, di samping dalam keadaan yang dikemukakan ulama Mazhab Syafi'i di atas, diwajibkan juga bagi wanita tersebut untuk melaksanakan ibadah haji apabila ada pendamping yang menjamin keamanannya. Alasan ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi'i adalah firman Allah SWT dalam surah Ali'Imran (3) ayat 97 di atas.Menurut mereka, yang dipentingkan oleh ayat ini adalah keamanan bagi orang-orang yang akan melaksanakan ibadah haji. Apabila keamanan wanita ini terjamin, maka dia wajib melaksanakan ibadah haji.

Wanita itu bukan wanita yang dalam keadaan menjalani masa *idah, baik idah karena *talak maupun idah karena kematian suami. Syarat ini didasarkan atas firman Allah SWT dalam surah at- Talaq (65) ayat 1 yang artinya: "...Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan) keluar..." Akan tetapi, ulama Mazhab Hanbali membolehkan wanita yang dalam menjalani idah talak untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi melarang wanita yang kematian suami untuk melaksanakan ibadah haji.

Pembedaan ini mereka lakukan karena bagi wanita yang sedang mennjalani idah wafat, wajib untuk tetap berada di rumah mereka, sebagai penghormatan terhadap suami mereka yang baru meninggal. Sedangkan bagi wanita yang ditalak tidak demikian. Wanita yang ditalak suaminya, menurut mereka, tidak harus senantiasa di rumah, tetapi mereka dibolehkan bepergian, khususnya dalam rangka menunaikan berbagai kewajibannya. Oleh sebab itu, apabila wanita yang dita1ak ini telah memenuhi syarat-syarat untuk melaksanakan ibadah haji, maka wajib bagi mereka untuk melaksanakan ibadah haji, sebagaimana yang berlaku pada wanita yang tidak beridah.

Tuntunan Ibadah Haji

Menunaikan ibadah haji adalah sesuatu yang amat dirindukan oleh setiap umat Islam, bahkan oleh yang telah menunaikannya berkali-kali sekalipun. Karena itu, bagi yang dimudahkan Allah untuk bisa menunaikan ibadah haji tahun ini agar menggunakan kesempatan emas itu dengan sebaik-baiknya. Sebab, belum tentu kesempatan menunaikan ibadah haji itu datang kembali.

Agar bisa beribadah haji dengan sebaik-baiknya, sekhusyu' - khusyu'nya dan menjadi haji mabrur, di samping harus ikhlas kita harus memiliki ilmu yang cukup seputar bagaimana menjalankan ibadah haji sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hal-hal yang mewajibkan haji

1. Islam
2. Berakal
3. Baliqh
4. Merdeka
5. Mampu : meliputi kemampuan materi dan fisik. Barangsiapa tidak mampu dengan hartanya untuk memenuhi biaya perjalanan, nafkah haji dan sejenisnya maka ia tidak berkewajiban haji. Adapun orang yang mampu secara materil, tetapi tidak mampu secara fisik dan jauh harapan sembuhnya, seperti orang yang sakit menahun, orang yang cacat atau tua renta maka ia harus mewakilkan hajinya kepada orang lain. Dan disyaratkan orang yang mewakilinya sudah haji untuk dirinya sendiri.

Macam-macam Haji

HAJI IFRAD

HAJI QIRAN

HAJI TAMATTU

Rukun dan Wajib Haji

IHRAM

WUKUF

TAWAF

SA'I

TAHALLUL

MABIT

MELONTAR JUMRAH

LAIN-LAIN

MIQAT

TALBIYAH

DAM (DENDA)

4 RUKUN KA'BAH

IDUL ADHA




6. Dan bagi perempuan ditambah dengan satu syarat yaitu adanya mahram yang pergi bersamanya. Sebab haram hukumnya jika ia pergi haji atau safar (bepergian) lainnya tanpa mahram, berdasarkan sabda Nabi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Tidak (dibenarkan seorang) wanita bepergian kecuali dengan mahramnya." (Muttafaq Alaih).
Jika seorang wanita pergi haji tanpa mahram maka ia berdosa tetapi hajinya tetap sah.

Rukun Haji. Yang dimaksud rukun haji adalah kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji yang jika tidak dikerjakan hajinya tidak syah. Adapun rukun haji adalah sebagai berikut :

1. Ihram, Yaitu mengenakan pakaian ihram dengan niat untuk haji atau umrah di Miqat Makani.
2. Wukuf di Arafah, yaitu berdiam diri, zikir dan berdo'a di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah.
3. Tawaf Ifadah, Yaitu mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan sesudah melontar jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijah.
4. Sa'i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 Kali, dilakukan sesudah Tawaf Ifadah.
5. Tahallul, yaitu bercukur atau menggunting rambut sesudah selesai melaksanakan Sa'i.
6. Tertib, yaitu mengerjakannya sesuai dengan urutannya serta tidak ada yang tertinggal.

Wajib Haji, Adalah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji sebagai pelengkap Rukun Haji, yang jika tidak dikerjakan harus membayar dam (denda). Yang termasuk wajib haji adalah ;

1. Niat Ihram, untuk haji atau umrah dari Miqat Makani, dilakukan setelah berpakaian ihram
2. Mabit (bermalam) di Muzdalifah pada tanggal 9 Zulhijah (dalam perjalanan dari Arafah ke Mina)
3. Melontar Jumrah Aqabah tanggal 10 Zulhijah
4. Mabit di Mina pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah).
5. Melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah).
6. Tawaf Wada', Yaitu melakukan tawaf perpisahan sebelum meninggalkan kota Mekah.
7. Meninggalkan perbuatan yang dilarang waktu ihram

Rukun Umrah

1. Ihram, Yaitu mengenakan pakaian ihram dengan niat untuk umrah di Miqat Makani.
3. Tawaf Umrah, Yaitu mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali
4. Sa'i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 Kali.
5. Tahallul, yaitu bercukur atau menggunting rambut
6. Tertib, yaitu mengerjakannya sesuai dengan urutannya serta tidak ada yang tertinggal.

Wajib Umrah

1. Niat Ihram, untuk haji atau umrah dari Miqat Makani, dilakukan setelah berpakaian ihram
2. Tidak berbuat yang diharamkan dalam berumrah


وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ * لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ * ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ * ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ *

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.

Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukan atas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.


Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).

Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. dan Telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. (Q.S, Al Hajj, ayat 27-30 )


Selengkapnya...