Pagi itu, cuaca tidak begitu bersahabat. Mendung menggelayut seakan gerimis akan segera turun. Namun, cuaca itu seakan tidak menyurutkan gema takbir di halaman Expo Jatim yang terbuka itu. Puluhan orang tampak berbodong-bondong menuju lokasi yang sama. Kebanyakan didominasi oleh ibu-ibu dan remaja putri.
Saya, yang sedang tidak enak badan itu, memilih bergabung dengan mereka. Jaraknya lumayan dekat, cuma beberapa meter saja. Jadi saya tidak perlu pergi ke masjid yang jaraknya lebih jauh. Apalagi, dalam sambutan panitia, Rasulullah, katanya, setiap memperingati Idul Fitri dan Idul Adha selalu di lapangan terbuka. “Ada hadits dhaif (lemah) yang mengatakan beliau salat di masjid, namun dalam keadaan gerimis. Itu pun riwayat yang lemah,” ujar ketua panitia dalam sambutannya meyakinkan para jamaah.
“Sesuai dengan hisab Muhammadiyah dan rukyah NU, Idul Adha jatuh pada hari ini, 31 Desember 2006. Meskipun ada yang tidak sama, tatapi harus yakin bahwa hari ini merupakan Idul Adha untuk wilayah Indonesia, sebagaimana hisab dan rukyat yang telah dilakukan oleh para ulama.”
Angin bersemilir kencang membuat badanku jadi tambah meriang. Saya berharap semoga tidak turun gerimis. Andaikata gerimis datang, saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi para jamaah itu. Tentu saja akan buyar, atau masing-masing berkerudung sajadah yang tidak bisa melindungi.
Dengan beralaskan tikar koran, kami (mereka dan saya) berbaris. Lantunan takbir berkali-kali diselingi dengan imbauan untuk menempatkan pada posisi. Karena area lapangan masih luas di sisi selatan, para jamaah diimbau untuk menempati bagian selatan yang telah disediakan panitia. “Salat Idul Adha dengan khutbah itu satu paket. Jadi, tidak boleh meninggalkan tempat tanpa mengikuti khutbah,” ujar panitia mewanti-wanti sebelum salat dimulai.
Salat dua rakaat itu pun kemudian dimulai. Saya lega karena cuaca juga semakin cerah. “Mengangkat tangan hanya pada takhiratul ikhram saja,” ujar sang imam menjelaskan tata cara salat. Namun ternyata banyak juga yang memangkat tangan mereka ketika takbir bergema. Rupanya, imbauan-imbauan ‘khas Muhammadiyah’ itu tidak membuat para pengikut NU melaksanakan tata caranya.
Setelah salat, khutbah pun dimulai. Sang khatib menceritakan kembali sebuah kisah tentang bapak pendiri agama langit: Ibrahim a.s. Sebagaimana yang khas dalam setiap khutbah Idul Adha, momentum yang langka pada waktu itu, direfleksikan kembali dalam simbolis-simbolis oleh miliaran umat. Sebagaimana ritual haji, itu tidak lain adalah sebuah gambaran nyata dari apa yang dialami oleh Ibrahim dan keluarganya.
Di zaman yang masih begitu primitif, ternyata Ibrahim mempunyai kesadaran akan Sang Pencipta. Sungguh pemikiran yang hebat di kala itu. Sehingga, dalam pencariannya, ia pernah menjadikan bintang, bulan, dan matahari sebagai sumber kekuatan. Namun, ia kemudian berontak, karena tidak ia dapati sifat-sifat tuhan ada dalam benda-benda tersebut.
Kisah Ibrahim ia ceritakan dengan gamblang, sampai pada ujian kecintaan pada Tuhan atau anak si biji matanya. Ibrahim, bapak dua dua golongan besar dunia, kemudian berhasil melaksanakan perintah Allah: mengorbankan apa yang dicintainya. Allah menggantinya dengan domba, yang mewakili sifat kehewanan.
Yang menarik dari isi khutbah itu, menurutku, ternyata banyak yang berhaji berkali-kali namun tidak dapat mengambil refleksi dari perjalanan yang dialami oleh Ibrahim. Harusnya, orang yang sudah haji yang umumnya kaya itu, semakin tumbuh rasa asih dengan mengorbankan apa yang ia cintai untuk kebaikan bersama. Dengan begitu, kesenjangan tidak akan terjadi.
Kelaparan yang melanda jamaah haji tahun ini, bisa jadi merupakan refleksi dari bangsa yang penduduknya berperut kosong. Adakah itu pertanda? Entah…
Selamat Idul Adha!
No comments:
Post a Comment