Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

2008/11/29

Qurban, Wujud Syukur Kekasih Allah

Oleh : AHMAD SAHIDIN

TIDAK semata-mata Allah memerintahkan Nabi Ibrahim as memotong putranya yang tercinta, Nabi Ismail as, jika tak ada hikmah yang terkandung dalam perintah tersebut.

Bila melihat kisah Qurban yang terdapat dalam al-Quran yang diperankan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, layaklah kita anggap sebagai peristiwa nyata. Bila ada yang menyatakan hanya simbolik atau tak nyata alias fiktif, berarti telah menganggap kitab suci umat Islam (Al-Quran) tidak benar. Pikiran seperti ini seharusnya segera untuk dijauhkan dari ingatan kita. Sebab qurban jelas sebagai perintah Allah yang tercantum dalam al-Quran Surat.Al-Kautsar ayat 1-2, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.”

Makna Qurban
Setiap ibadah dalam agama Islam pasti mengandung makna atau hikmah yang bermanfaat. Begitu pun ibadah qurban. Qurban sebagai ibadah tahunan merupakam ajaran Allah yang memiliki dimensi vertikal (hablumminallah) dan horizontal (hablumminannas).

Dimensi vertical ini bisa diartikan sebnagai bentuk ketaatan kita kepada Allah dengan melakukan qurban. Yakni sebagai penghambaan kepada Allah, yang pada Nabi Ibrahim diwujudkan dengan menyembelih Nabi Ismail as. Sedangkan pada kita saat ini dengan menyembelih kambing atau sapi, yang dagingnya dibagi-bagikan. Aspek ini sebagai bentuk ajaran sosial dalam Islam (hablumminannas).

Qurban juga bisa dimaknai sebagai penyadaran atas nilai-nilai kebinatangan yang ada pada manusia (diri), sehingga kembali menjadi manusia. Namun ada juga yang memaknainya sebagai upaya untuk mendekat pada Allah. Bila itu yang dipahami dan diyakini, maka ia harus berani mengorbankan yang dicintainya (seperti Nabi Ibrahim as). Tapi pendapat ini argumennya tak begitu kuat. Sebab kalau sebagai keberanian berkorban untuk Allah, bagi seorang hamba yang benar-benar mencintai Allah, korban seekor kambing atau unta bukanlah simbol cinta yang bisa disebut besar. Apalagi ini kepada Allah.

Bukan sekedar cinta
Menurut guru saya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, ibadah qurban tidak hanya wujud cinta, tapi juga sebagai syukur atas nikmat yang diberikan Allah pada kita. Jika kita tetap yakin bahwa qurban sebagai wujud cinta, maka sunguh kecil nilainya dihadapan Allah.

Guru saya memberikan perbandingannya. Jika menyembelih kambing itu sebagai tanda cinta, coba bandingkan antara pengorbanan Nabi Muhammad SAW yang mengorbankan dirinya berhadapan dengan orang-orang kafir yang ingin membunuhnya; atau Nabi Ibrahim as yang menyembelih anaknya sendiri dengan tangannya sendiri. Bandingkan dengan kita yang hanya mengorbankan seekor kambing atau sapi.

Kalau saja Allah tetap menganggap pengorbanan kita dengan seekor kambing sebagai tanda cinta kita pada-Nya, subhanallah, betapa besarnya Kasih-Sayang (Rahman-Rahim) dan Maha Pengampunan Allah kepada kita.

Pada akhirnya, kita harus bertanya pada niat kita sendiri, untuk apa kita ber-qurban? Di situlah letak nilainya. Oleh karena itu, letaknya dalam niat, dalam ungkapan hati, dan dalam apa yang tersirat dalam hati. Itulah masalahnya.

Bila kita menyadari betapa kecilnya pengorbanan kita terhadap yang kita cintai (Allah), semestinya menjadi salah satu dasar supaya kita menyadari untuk semakin bersyukur. Tapi kita lebih banyak meminta suatu “materi” dibandingkan ungkapan rasa syukur dan minta ampunan.

Memang bila direnungi akan tampak diri kita tak ada apa-apanya. Dengan ini maka akan terasa dalam diri bahwa kita kecil di hadapan-Nya. Bila kita memang sudah merasa kecil, berbesar hatilah. Sebab rasa rendah hati di hadapan Allah lebih baik dan bernilai ibadah. Nabi Muhammad Rasulullah SAW pun selaku manusia sempurna, dalam beberapa doanya menyampaikan kelemahannya.

Berikut ini bentuk doa kelemahan yang dibacakan Rasulullah SAW:

“Ya Allah, kepada Engkaulah aku adukan kelemahan tenagaku dan kekurangan daya upayaku pada pandangan manusia.

Wahai Yang Maha Rahim, Engkaulah Tuhannya orang-orang yang lemah dan Engkaulah tuhanku. Kepada siapa Engkau menyerahkan diriku? Apakah kepada musuh yang akan menerkam aku atau kepada keluarga yang Engkau berikan kepadanya urusanku, tidak ada keberatan bagiku asalkan Engkau tidak marah kepadaku. Sedangkan afiat-Mu lebih luas bagiku.

Aku berlindung dengan cahaya wajah-MU yang mulia yang menyinari langit dan menerangi segala yang gelap dan atas-Nyalah teratur segala urusan dunia dan akhirat, dari turunnya murka-Mu kepadaku atau turunnya ketidakridhaan-Mu kepadaku.

Jauhkanlah murka-Mu hingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan-Mu”.

Oleh AHMAD SAHIDIN

No comments: