Oleh AHMAD SAHIDIN
Qurban dalam bahasa Arab artinya dekat. Sedangkan qurban secara istilah dalam agama Islam bermakna menyembelih hewan sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah qurban disebut udzhiyah, artinya hewan yang dipotong sebagai qurban. Ibadah qurban ini perintahnya terdapat dalam al-Qur’n surah al-Kausar (108) ayat 2, “maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan berqurbanlah”.
Keutamaan mengenai ibadah qurban dijelaskan pula dengan hadist yang diterima A’isyah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sabaik-baik amal bani Adam bagi Allah di hari Idul Adha adalah menyembelih qurban. Di hari kiamat hewan-hewan qurban tersebut menyertai bani adam dengan tanduk-tanduknya, tulang-tulang dan bulunya, darah hewan tersebut diterima Allah sebelum menetes ke bumi dan akan membersihkan mereka yang melakukannya (muqarib)” (HR.Tirmidzi, Ibnu Majah).
Juga dalam riwayat Anas bin Malik, yang terdapat dalam kitab Sunan Tirmizi, disebutkan bahwa Rasulullah SAW menyembelih dua ekor domba putih bertanduk. Rasulullah SAW meletakkan kakinya di dekat leher hewan tersebut lalu membaca basmalah dan bertakbir serta menyembelihnya.
Hukum ibadah qurban, menurut mazhab Hanafi masuk pada tingkat wajib dengan dalil hadist Abu Haurairah yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka jangan lah ia mendekati masjidku” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah).
Dikarenakan landasan di atas, Imam Hanafi menyatakan bahwa dalil-dalil di atas menunjukkan suatu perintah yang sangat kuat sehingga lebih tepat bila dikatakan wajib.
Namun mayoritas ulama mengatakan, hukum qurban itu sunnah dan dilakukan tiap tahun bagi yang mampu. Mazhab syafi’i mengatakan, qurban hukumnya sunnah ‘ain (menjadi tanggungan perorangan) bagi setiap individu sekali dalam seumur.
Dan sunnah kifayah hukumnya bagi sebuah keluarga besar, yang juga menjadi tanggungan seluruh anggota keluarga. Namun kesunnahannya terpenuhi jika salah seorang anggota keluarganya telah melaksanakan ibadah qurban. Pendapat ini berlandaskan pada riwayat Umi Salamah, Rasulullah SAW bersabda, “Bila kalian melihat hilal dzul hijjah dan kalian menginginkan menjalankan ibadah qurban, maka janganlah memotong bulu dan kuku hewan yang hendak disembelih” (HR. Muslim). Jika dilihat dengan jeli, hadits ini mengaitkan ibadah qurban dengan keinginan yang artinya bukan kewajiban.
Dalam riwayat Ibnu Abbas Rasulullah SAW bersabda, “Tiga perkara bagiku wajib, namun bagi kalian sunnah, yaitu shalat witir, menyembelih qurban dan shalat idul adha” (HR. Ahmad dan Hakim). Jadi berdasarkan hadits ini, qurban disunnahkan kepada yang mampu. Ukuran kemampuan didasarkan kepada kebutuhan individu, yaitu apabila seseorang setelah memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan masih memiliki dana lebih dan mencukupi untuk membeli hewan qurban, khususnya di hari Idul Adha dan tiga hari tasyriq, maka ia harus berqurban.
Dalam beribadah qurban harus disertai niat untuk Allah atas nama dirinya. Berqurban atas nama orang lain menurut mazhab Syafi’i tidak sah tanpa seizin orang tersebut. Begitu juga atas nama orang yang telah wafat tidak sah bila tanpa dasar wasiat. Ulama Maliki mengatakan makruh berqurban atas nama orang lain. Ulama Hanafi dan Hanbali mengatakan sah saja berqurban untuk orang lain yang telah meninggal dan pahalanya dikirimkan kepada almarhum.
Dalam menyembelih qurban disunnahkan membaca bismillah, membaca shalawat untuk Rasulullah, menghadapkan hewan ke arah kiblat waktu menyembelih, membaca takbir sebelum basmalah dan sesudahnya disertai doa.
PENULIS adalah pemilik blog http://ahmadsahidin.wordpress.com
No comments:
Post a Comment