Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

2011/03/06

Dangdut dalam budaya kontemporer Indonesia

Oleh Rhoma Irama, dangdut dijadikan sebagai alat berdakwah, yang jelas terlihat dari lirik-lirik lagu ciptaannya dan dinyatakan sendiri olehnya. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu polemik besar kebudayaan di Indonesia pada tahun 2003 akibat protesnya terhadap gaya panggung penyanyi dangdut dari Jawa Timur, Inul Daratista, dengan goyang ngebor-nya yang dicap dekaden serta "merusak moral".

Jauh sebelumnya, dangdut juga telah mengundang perdebatan dan berakhir dengan pelarangan panggung dangdut dalam perayaan Sekaten di Yogyakarta. Perdebatan muncul lagi-lagi akibat gaya panggung penyanyi (wanita)-nya yang dinilai terlalu "terbuka" dan berselera rendah, sehingga tidak sesuai dengan misi Sekaten sebagai suatu perayaan keagamaan.

Dangdut memang disepakati banyak kalangan sebagai musik yang membawa aspirasi kalangan masyarakat kelas bawah dengan segala kesederhanaan dan kelugasannya. Ciri khas ini tercermin dari lirik serta bangunan lagunya. Gaya pentas yang sensasional tidak terlepas dari nafas ini.

Panggung kampanye partai politik juga tidak ketinggalan memanfaatkan kepopuleran dangdut untuk menarik massa. Isu dangdut sebagai alat politik juga menyeruak ketika Basofi Sudirman, pada saat itu sebagai fungsionaris Golkar, menyanyi lagu dangdut.

Walaupun dangdut diasosiasikan dengan masyarakat bawah yang miskin, bukan berarti dangdut hanya digemari kelas bawah. Di setiap acara hiburan, dangdut dapat dipastikan turut serta meramaikan situasi. Panggung dangdut dapat dengan mudah dijumpai di berbagai tempat. Tempat hiburan dan diskotek yang khusus memutar lagu-lagu dangdut banyak dijumpai di kota-kota besar. Stasiun radio siaran yang menyatakan dirinya sebagai "radio dangdut" juga mudah ditemui di berbagai kota.


Dangdut Indonesia in contemporary culture

Long before, dangdut has also been invited debate and ended with the banning of the stage in celebration Sekaten dangdut in Yogyakarta. The debate appears again and again due to the style of a stage singer (female) was considered too "open" and low taste, so it does not fit with the mission Sekaten as a religious celebration.

Dangdut is widely agreed upon as the music that carries the aspirations of lower class society with all its simplicity and kelugasannya. Distinctive feature is reflected in the lyrics and song structure. Stage a sensational style is inseparable from this breath.

Stage of political party campaign also did not miss exploit the popularity of dangdut to attract the masses. Dangdut issue as a political tool also burst when Basofi Sudirman, at the time as Golkar functionaries, sing dangdut songs.

While dangdut associated with the grassroots who are poor, it does not mean popular dangdut only the lower class. In any event entertainment, dangdut certainly participate enliven the situation. Dangdut stage can easily be found in various places. Places of entertainment and special disco play dangdut songs found in many large cities. The radio station broadcast that states itself as "radio dangdut" is also easily found in various cities.

No comments: