Dangdut sebagai salah satu jenis musik memiliki keunikan tersendiri. Iramanya sanggup membuat semua orang berjoget tanpa perlu aturan tertentu untuk menikmatinya. Lirik-lirik dangdut penuh dengan nada ratapan nasib, kekecewaan, kekesalan, kebencian, harapan, tangisan dan cinta terhadap sesuatu. Karena itu dangdut identik dengan musik yang cengeng, norak dan kampungan. Musik dangdut juga milik mereka yang kampungan dan yang kampungan itu adalah kaum pinggir/rakyat miskin.
Adalah Televisi Pendidikan Indonesia atau disingkat dengan TPI yang pertama kali menyiarkan acara musik dangdut. Acara yang ditayangkan pada siang hari, berdurasi satu jam merupakan acara khusus musik dangdut. Target penonton adalah para pecinta musik dangdut yang tersebar di pelosok-pelosok desa. Tahun 1995-an Indosiar salah satu tv swasta membuat program musik “Dangdut on The Campus” yang diputar pada hari Minggu pukul 10 pagi. Tayangan ini mengupas tentang pendapat para mahasiswa (dapat dibaca ‘jajak pendapat’) tentang musik dangdut dan mahasiswa diminta untuk ikut bergoyang dangdut. Acara ini nampaknya cukup sukses dan diikuti terus oleh kalangan mahasiswa sekaligus membuktikan bahwa tidak semua mahasiswa alergi terhadap musik dangdut.
Tidak mau ketinggalan dengan televisi yang lain, SCTV membuat program “Sik, Asyik..” acara khusus musik dangdut. RCTI dengan “JOGED”-nya dan LATIVI pendatang baru dipertelevisian menggelar langsung musik dangdut yang dikemas dalam “Kawasan Dangdut”. Demikian juga dengan tv-tv lain berlomba-lomba menyajikan musik dangdut.
Musik dangdut di tv dikemas begitu rupa, dari penampilan penyanyinya dengaan baju ‘sopan’ dan tertutup, goyangan yang dibatasi, dan membuang syair-syair yang erotis. Semua ini dilakukan untuk menghilangkan kesan, kalau dangdut itu musik erotis dan merusak moral. Secara tidak langsung ini adalah usaha agar dangdut bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Sosialisasi musik dangdut lewat layar kaca nampaknya cukup berhasil, buktinya musik dangdut diterima oleh mahasiswa, musik dangdut diputar di kafe-kafe milik kaum elit, para pecinta musik klasik, jazz, rock dan lagu-lagu pop lainnya mau mendengar lirik-lirik dangdut. Sebagian dari artis (semula artis pop) bersedia menyanyikan lagu-lagu dangdut. Bahkan gubernur Jatim Basofi Sudirman kala itu, dikenal sebagai ‘penyanyi dangdut’ dengan lagu hit-nya “Tidak Semua Laki-Laki”. Contoh kongkrit lain adalah Obbie Mesakh pencipta lagu-lagu pop berputar haluan mencipta lagu dangdut. Dengan demikian usaha “menjadikan dangdut sebagai musik semua lapisan masyarakat” lewat televisi terbukti sangat ampuh.
Goyang “ngebor” Inul bagian dari dangdut pinggiran
Rileks.Com adalah portal hiburan yang pertama kali menulis tentang goyang ‘ngebor’ Inul. dalam kupasannya diperoleh informasi bahwa Inul sudah lama berkarir didunia hiburan, selama itu ia menghibur masyarakat pada banyak acara seperti perkawinan dan sebagainya. Karena goyang “ngebor”-nya yang terkenal, Inul sudah sampai ke luar negeri. Kemudian dalam waktu yang relatif singkat, berita tentang goyang “ngebor’ Inul menghiasi media-media yang ada di negeri ini.
Hampir di setiap warung makan, di perkantoran, kampus dan tempat umum lainnya membicarakan tentang Inul. Di kalangan artis sendiri, muncul pendapat yang pro-kontra tentang artis “baru” Inul Daratista. Ada artis yang mendukung Inul seperti misalnya Ulfa, Roni Sianturi, Eko Patrio dan lainnya. Artis dangdut yang tidak suka dengan Inul juga banyak seperti Iis Dahlia bahkan Rhoma Irama, si Raja Dangdut, melontarkan kritikan yang sinis dan penuh penghakiman bahwa goyang Inul terlalu erotis dan mengexploitasi seks. Kritikan Rhoma senada dengan beberapa tokoh agama yang mengkritik goyang Inul adalah goyang ranjang pengundang nafsu birahi. Nada-nada minor terhadap Inul datang secara beruntun, sikap pro dan kontra ditunjukan secara terbuka. Semua memperlihatkan adanya rasa iri,cemburu dan takut tersaingi. Inul dilihat sebagai “ancaman” dalam meraih keuntungan di bisnis hiburan. Karena Inul sanggup menurunkan popularitas artis-artis papan atas, dalam waktu yang pendek.
Gaya Inul yang norak, goyangan yang hot, suara yang pas-pasan ternyata sanggup menyedot perhatian masyarakat. Sebagian besar masyarakat antusias menyambut kehadiran Inul dan goyang Inul dinantikan oleh kita semua. Diakui atau tidak dan disadari atau tidak, kita menerima musik dangdut yang kampungan itu lewat kehadiran Inul. Karena musik dan goyangan yang ditawarkan Inul adalah bagian dari musik dangdut pinggiran.
Pada hakekatnya dangdut adalah milik mereka yang termarjinalkan. Meminjam istilah Rhoma dangdut adalah milik kaum comberan. Sebagai haji dan seniman dangdut, Rhoma sangat meremehkan penggemarnyaa dengan label comberan. Seperti dikutip oleh PK edisi Minggu 27 April, “…citra dangdut yang dibangun oleh seniman kembali terperosok masuk comberan”. Inul dituding telah merusak citra dangdut yang susah payah dibangun agar masuk kalangan elit. Rhoma begitu emosi karena ia dan kelompoknya merasa berjasa dalam memboyong dangdut comberan ke papan atas.
Fenomena Inul adalah titik balik dangdut yang ‘disopankan’Apa yang dilakukan Rhoma dan seniman dangdut lain untuk mengangkat derajat dan citra dangdut tidaklah salah. Tapi jangan lupa bahwa dangdut juga milik mereka yang comberan. Ketika dangdut ‘disopankan’ oleh sebagian seniman, pada saat yang sama dangdut comberan tetap berlangsung dalam masyarakat. Nampaknya kesenian “comberan” (penulis tidak cocok dengan kata ini karena terlalu merendahkan dan kasar) ini tidak akan mati bahkan sebaliknya ia akan tetap hidup. Inul hanyalah satu contoh wajah dangdut pinggiran yang muncul kepermukaan, disaat musik dangdut terhanyut dalam keelitannya. Masih banyak seniman dangdut yang lebih parah dari Inul, hanya saja keberuntungan sedang berpihak pada Inul.
Goyang “bor” Inul sedang ‘mengingatkan’ musik dangdut yang terlena dengan “kemodernannya”, untuk kembali pada ciri khas dangdut pinggiran. Fenomena Inul hendak mengatakan inilah musik dangdut asli, yang cengeng, norak dan kampung. Musik dangdut adalah selera dan milik kaum marjinal, musik yang sanggup menghibur wong cilik, masyarakat lapisan paling bawah dan paling banyak penghuninya. Mungkin sudah saatnya dangdut harus kembali keselera asal, Inul hendak mengajak kita semua untuk menengok kembali asal muasal ‘negeri musik dangdut’.
Orang bijak mengatakan bahwa roda selalu berputar, ada kalanya manusia atau sesuatu duduk diposisi puncak, satu saat nanti berada dibawah. Demikian halnya dengan musik, rambut dan mode atau baju. Tidak ada sesuatu yang baru, karena yang baru sebenarnya adalah yang lama diputar kembali. Begitu juga dengan fenomena Inul, ia adalah titik balik dari dangdut yang dimodernkan. Jadi mengapa dicerca dan dimaki? Marilah kita jujur ketika mencaci kita juga sebenarnya menikmati
Inul "Turning Point of Modern Music Dangdut
Dangdut as one type of music has its own uniqueness. Rhythm can make everyone dance without needing specific rules to enjoy it. The lyrics are full of tone dangdut lament the fate, disappointment, resentment, hatred, hope, tears and love for something. Because of that dangdut is identical to that whiny music, tacky and cheesy. Dangdut music also belongs to those who are plebeian plebeian and it is the edge / of the poor.
Is Televisi Pendidikan Indonesia or abbreviated with FAP who first broadcast the event dangdut music. The event was broadcast at noon, an hour-long special events dangdut music. The target audience is dangdut music lovers scattered in rural outposts. 1995 Indosiar's one private TV makes the music program "Dangdut on the Campus" which played on Sunday at 10 am. Impressions is peeling on the opinions of the students (to be read 'poll') about dangdut music and students are asked to participate sway dangdut. This event seems quite successful and continues to be followed by the students and prove that not all students are allergic to dangdut music.
Do not want to miss another TV, SCTV make the program "Sik, fun .." special events dangdut music. RCTI with "Joged"and newcomers Lativi dipertelevisian held dangdut music directly packaged in "Regions Dangdut". Likewise, the tv-tv presents another vying dangdut music.
Dangdut music on tv packaged in such a way, from the appearance of singer dengaan clothes 'polite' and closed, which restricted wobble, and dispose of erotic poetry. All this is done to remove the impression, if dangdut music was erotic and moral damage. Indirectly this is an attempt to dangdut be accepted by all levels of society.
Socialization dangdut music through the glass screen seems quite successful, the proof is received by the student dangdut, dangdut music playing in the cafes owned by the elite, lovers of classical music, jazz, rock and other pop songs would hear the lyrics of dangdut. Some of the artist (original pop artist) is willing to sing dangdut songs. Even the governor of East Java at the time Basofi Sudirman, known as 'dangdut singer' with his hit song "Not All Men. " Another concrete example is the creator Meshach Obbie pop songs turned the bow creates song dangdut. Thus efforts to "make music dangdut as all levels of society" by television proved to be very powerful.
Shake "ngebor" dangdut Inul part of the periphery
Rileks.Com is entertainment portal which first wrote about rocking 'ngebor' Inul. in kupasannya obtained information that Inul has long been the world's entertainment career, during which he was entertaining the community at many events such as marriage and so forth. Because the rocking "ngebor" his famous, Inul has reached overseas. Then in a relatively short time, news of a rocking "ngebor 'Inul decorate the existing media in this country.
Almost at every food stall, in offices, campuses and other public places to talk about Inul. Among the artists themselves, there are pros and cons opinions about the artist's "new" Inul Daratista. There are artists who support Inul such as Ulfa, Roni Sian, Eko Patrio and others. Dangdut artist Inul who do not like too much like Iis Dahlia even Rhoma Irama, the King of Dangdut, cast criticism cynical and full of judgments that rocking Inul is too erotic and sexual exploit. Rhoma similar criticism by some religious figures who criticized Inul is a rocking bed rocking Host lust. Minor tones against Inul came in succession, the attitude of the pros and cons shown publicly. All show a sense of envy, jealousy and fear unrivaled. Inul viewed as a "threat" in profits in the entertainment business. Because of Inul's popularity could lose top artists, in a short time.
Inul a flashy style, shake that hot, the sound mediocre in fact, can suck people's attention. Most of the people enthusiastically welcomed the presence and rocking Inul Inul awaited by us all. Recognized or not and whether consciously or not, we receive a plebeian dangdut music was through the presence of Inul. Because the music and sway offered Inul is part of the periphery dangdut music.
Dangdut essentially belongs to those who are marginalized. Dangdut Rhoma borrow a phrase belongs to the gutter. As the hajj and artist dangdut, Rhoma very disparaging penggemarnyaa with label gutter. As quoted by PK edition of Sunday, April 27, "... the image that was built by the artist dangdut plunged back into the gutter". Inul has been accused of damaging the image of dangdut painstakingly built for elite entry. Rhoma so emotional because he and his group was instrumental in bringing the gutter to the top dangdut.
The phenomenon dangdut Inul is a turning point that 'disopankan'Apa performed dangdut Rhoma and other artists to raise the degree and the image of dangdut is not wrong. But do not forget that dangdut is also owned by those who gutter. When dangdut 'disopankan' by some artists, at the same gutter dangdut persists in society. It seems that art "gutter" (the author does not fit with this word because it is too condescending and rude), this will not die even otherwise he will stay. Inul is just one example of face edges below appear dangdut, dangdut music while drifting in keelitannya. There are still many dangdut artist Inul worse than, it's just luck was in favor of Inul.
Shake "drill" Inul was 'reminded' dangdut music that lulled with "kemodernannya", to return to the typical suburb dangdut. The phenomenon of Inul to say this is the original dangdut, a whiny, tacky and villages. Dangdut is the taste and belong to the marginalized, the music is able to entertain underprivileged, the bottom layer and most of its inhabitants. Maybe it's time to go back keselera origin dangdut, Inul want to invite us all to look back on the origins of 'country music dangdut'.
The wise say that the wheels are always spinning, there are times when human or something sitting positioned peaks, one day is below. So it is with music, fashion or hair and clothes. There is nothing new, because the new is actually old played back. So is the phenomenon of Inul, it was the turning point of the modernized dangdut. So why are reviled and dimaki? Let's be honest when we also really enjoy deriding
Adalah Televisi Pendidikan Indonesia atau disingkat dengan TPI yang pertama kali menyiarkan acara musik dangdut. Acara yang ditayangkan pada siang hari, berdurasi satu jam merupakan acara khusus musik dangdut. Target penonton adalah para pecinta musik dangdut yang tersebar di pelosok-pelosok desa. Tahun 1995-an Indosiar salah satu tv swasta membuat program musik “Dangdut on The Campus” yang diputar pada hari Minggu pukul 10 pagi. Tayangan ini mengupas tentang pendapat para mahasiswa (dapat dibaca ‘jajak pendapat’) tentang musik dangdut dan mahasiswa diminta untuk ikut bergoyang dangdut. Acara ini nampaknya cukup sukses dan diikuti terus oleh kalangan mahasiswa sekaligus membuktikan bahwa tidak semua mahasiswa alergi terhadap musik dangdut.
Tidak mau ketinggalan dengan televisi yang lain, SCTV membuat program “Sik, Asyik..” acara khusus musik dangdut. RCTI dengan “JOGED”-nya dan LATIVI pendatang baru dipertelevisian menggelar langsung musik dangdut yang dikemas dalam “Kawasan Dangdut”. Demikian juga dengan tv-tv lain berlomba-lomba menyajikan musik dangdut.
Musik dangdut di tv dikemas begitu rupa, dari penampilan penyanyinya dengaan baju ‘sopan’ dan tertutup, goyangan yang dibatasi, dan membuang syair-syair yang erotis. Semua ini dilakukan untuk menghilangkan kesan, kalau dangdut itu musik erotis dan merusak moral. Secara tidak langsung ini adalah usaha agar dangdut bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Sosialisasi musik dangdut lewat layar kaca nampaknya cukup berhasil, buktinya musik dangdut diterima oleh mahasiswa, musik dangdut diputar di kafe-kafe milik kaum elit, para pecinta musik klasik, jazz, rock dan lagu-lagu pop lainnya mau mendengar lirik-lirik dangdut. Sebagian dari artis (semula artis pop) bersedia menyanyikan lagu-lagu dangdut. Bahkan gubernur Jatim Basofi Sudirman kala itu, dikenal sebagai ‘penyanyi dangdut’ dengan lagu hit-nya “Tidak Semua Laki-Laki”. Contoh kongkrit lain adalah Obbie Mesakh pencipta lagu-lagu pop berputar haluan mencipta lagu dangdut. Dengan demikian usaha “menjadikan dangdut sebagai musik semua lapisan masyarakat” lewat televisi terbukti sangat ampuh.
Goyang “ngebor” Inul bagian dari dangdut pinggiran
Rileks.Com adalah portal hiburan yang pertama kali menulis tentang goyang ‘ngebor’ Inul. dalam kupasannya diperoleh informasi bahwa Inul sudah lama berkarir didunia hiburan, selama itu ia menghibur masyarakat pada banyak acara seperti perkawinan dan sebagainya. Karena goyang “ngebor”-nya yang terkenal, Inul sudah sampai ke luar negeri. Kemudian dalam waktu yang relatif singkat, berita tentang goyang “ngebor’ Inul menghiasi media-media yang ada di negeri ini.
Hampir di setiap warung makan, di perkantoran, kampus dan tempat umum lainnya membicarakan tentang Inul. Di kalangan artis sendiri, muncul pendapat yang pro-kontra tentang artis “baru” Inul Daratista. Ada artis yang mendukung Inul seperti misalnya Ulfa, Roni Sianturi, Eko Patrio dan lainnya. Artis dangdut yang tidak suka dengan Inul juga banyak seperti Iis Dahlia bahkan Rhoma Irama, si Raja Dangdut, melontarkan kritikan yang sinis dan penuh penghakiman bahwa goyang Inul terlalu erotis dan mengexploitasi seks. Kritikan Rhoma senada dengan beberapa tokoh agama yang mengkritik goyang Inul adalah goyang ranjang pengundang nafsu birahi. Nada-nada minor terhadap Inul datang secara beruntun, sikap pro dan kontra ditunjukan secara terbuka. Semua memperlihatkan adanya rasa iri,cemburu dan takut tersaingi. Inul dilihat sebagai “ancaman” dalam meraih keuntungan di bisnis hiburan. Karena Inul sanggup menurunkan popularitas artis-artis papan atas, dalam waktu yang pendek.
Gaya Inul yang norak, goyangan yang hot, suara yang pas-pasan ternyata sanggup menyedot perhatian masyarakat. Sebagian besar masyarakat antusias menyambut kehadiran Inul dan goyang Inul dinantikan oleh kita semua. Diakui atau tidak dan disadari atau tidak, kita menerima musik dangdut yang kampungan itu lewat kehadiran Inul. Karena musik dan goyangan yang ditawarkan Inul adalah bagian dari musik dangdut pinggiran.
Pada hakekatnya dangdut adalah milik mereka yang termarjinalkan. Meminjam istilah Rhoma dangdut adalah milik kaum comberan. Sebagai haji dan seniman dangdut, Rhoma sangat meremehkan penggemarnyaa dengan label comberan. Seperti dikutip oleh PK edisi Minggu 27 April, “…citra dangdut yang dibangun oleh seniman kembali terperosok masuk comberan”. Inul dituding telah merusak citra dangdut yang susah payah dibangun agar masuk kalangan elit. Rhoma begitu emosi karena ia dan kelompoknya merasa berjasa dalam memboyong dangdut comberan ke papan atas.
Fenomena Inul adalah titik balik dangdut yang ‘disopankan’Apa yang dilakukan Rhoma dan seniman dangdut lain untuk mengangkat derajat dan citra dangdut tidaklah salah. Tapi jangan lupa bahwa dangdut juga milik mereka yang comberan. Ketika dangdut ‘disopankan’ oleh sebagian seniman, pada saat yang sama dangdut comberan tetap berlangsung dalam masyarakat. Nampaknya kesenian “comberan” (penulis tidak cocok dengan kata ini karena terlalu merendahkan dan kasar) ini tidak akan mati bahkan sebaliknya ia akan tetap hidup. Inul hanyalah satu contoh wajah dangdut pinggiran yang muncul kepermukaan, disaat musik dangdut terhanyut dalam keelitannya. Masih banyak seniman dangdut yang lebih parah dari Inul, hanya saja keberuntungan sedang berpihak pada Inul.
Goyang “bor” Inul sedang ‘mengingatkan’ musik dangdut yang terlena dengan “kemodernannya”, untuk kembali pada ciri khas dangdut pinggiran. Fenomena Inul hendak mengatakan inilah musik dangdut asli, yang cengeng, norak dan kampung. Musik dangdut adalah selera dan milik kaum marjinal, musik yang sanggup menghibur wong cilik, masyarakat lapisan paling bawah dan paling banyak penghuninya. Mungkin sudah saatnya dangdut harus kembali keselera asal, Inul hendak mengajak kita semua untuk menengok kembali asal muasal ‘negeri musik dangdut’.
Orang bijak mengatakan bahwa roda selalu berputar, ada kalanya manusia atau sesuatu duduk diposisi puncak, satu saat nanti berada dibawah. Demikian halnya dengan musik, rambut dan mode atau baju. Tidak ada sesuatu yang baru, karena yang baru sebenarnya adalah yang lama diputar kembali. Begitu juga dengan fenomena Inul, ia adalah titik balik dari dangdut yang dimodernkan. Jadi mengapa dicerca dan dimaki? Marilah kita jujur ketika mencaci kita juga sebenarnya menikmati
Inul "Turning Point of Modern Music Dangdut
Dangdut as one type of music has its own uniqueness. Rhythm can make everyone dance without needing specific rules to enjoy it. The lyrics are full of tone dangdut lament the fate, disappointment, resentment, hatred, hope, tears and love for something. Because of that dangdut is identical to that whiny music, tacky and cheesy. Dangdut music also belongs to those who are plebeian plebeian and it is the edge / of the poor.
Is Televisi Pendidikan Indonesia or abbreviated with FAP who first broadcast the event dangdut music. The event was broadcast at noon, an hour-long special events dangdut music. The target audience is dangdut music lovers scattered in rural outposts. 1995 Indosiar's one private TV makes the music program "Dangdut on the Campus" which played on Sunday at 10 am. Impressions is peeling on the opinions of the students (to be read 'poll') about dangdut music and students are asked to participate sway dangdut. This event seems quite successful and continues to be followed by the students and prove that not all students are allergic to dangdut music.
Do not want to miss another TV, SCTV make the program "Sik, fun .." special events dangdut music. RCTI with "Joged"and newcomers Lativi dipertelevisian held dangdut music directly packaged in "Regions Dangdut". Likewise, the tv-tv presents another vying dangdut music.
Dangdut music on tv packaged in such a way, from the appearance of singer dengaan clothes 'polite' and closed, which restricted wobble, and dispose of erotic poetry. All this is done to remove the impression, if dangdut music was erotic and moral damage. Indirectly this is an attempt to dangdut be accepted by all levels of society.
Socialization dangdut music through the glass screen seems quite successful, the proof is received by the student dangdut, dangdut music playing in the cafes owned by the elite, lovers of classical music, jazz, rock and other pop songs would hear the lyrics of dangdut. Some of the artist (original pop artist) is willing to sing dangdut songs. Even the governor of East Java at the time Basofi Sudirman, known as 'dangdut singer' with his hit song "Not All Men. " Another concrete example is the creator Meshach Obbie pop songs turned the bow creates song dangdut. Thus efforts to "make music dangdut as all levels of society" by television proved to be very powerful.
Shake "ngebor" dangdut Inul part of the periphery
Rileks.Com is entertainment portal which first wrote about rocking 'ngebor' Inul. in kupasannya obtained information that Inul has long been the world's entertainment career, during which he was entertaining the community at many events such as marriage and so forth. Because the rocking "ngebor" his famous, Inul has reached overseas. Then in a relatively short time, news of a rocking "ngebor 'Inul decorate the existing media in this country.
Almost at every food stall, in offices, campuses and other public places to talk about Inul. Among the artists themselves, there are pros and cons opinions about the artist's "new" Inul Daratista. There are artists who support Inul such as Ulfa, Roni Sian, Eko Patrio and others. Dangdut artist Inul who do not like too much like Iis Dahlia even Rhoma Irama, the King of Dangdut, cast criticism cynical and full of judgments that rocking Inul is too erotic and sexual exploit. Rhoma similar criticism by some religious figures who criticized Inul is a rocking bed rocking Host lust. Minor tones against Inul came in succession, the attitude of the pros and cons shown publicly. All show a sense of envy, jealousy and fear unrivaled. Inul viewed as a "threat" in profits in the entertainment business. Because of Inul's popularity could lose top artists, in a short time.
Inul a flashy style, shake that hot, the sound mediocre in fact, can suck people's attention. Most of the people enthusiastically welcomed the presence and rocking Inul Inul awaited by us all. Recognized or not and whether consciously or not, we receive a plebeian dangdut music was through the presence of Inul. Because the music and sway offered Inul is part of the periphery dangdut music.
Dangdut essentially belongs to those who are marginalized. Dangdut Rhoma borrow a phrase belongs to the gutter. As the hajj and artist dangdut, Rhoma very disparaging penggemarnyaa with label gutter. As quoted by PK edition of Sunday, April 27, "... the image that was built by the artist dangdut plunged back into the gutter". Inul has been accused of damaging the image of dangdut painstakingly built for elite entry. Rhoma so emotional because he and his group was instrumental in bringing the gutter to the top dangdut.
The phenomenon dangdut Inul is a turning point that 'disopankan'Apa performed dangdut Rhoma and other artists to raise the degree and the image of dangdut is not wrong. But do not forget that dangdut is also owned by those who gutter. When dangdut 'disopankan' by some artists, at the same gutter dangdut persists in society. It seems that art "gutter" (the author does not fit with this word because it is too condescending and rude), this will not die even otherwise he will stay. Inul is just one example of face edges below appear dangdut, dangdut music while drifting in keelitannya. There are still many dangdut artist Inul worse than, it's just luck was in favor of Inul.
Shake "drill" Inul was 'reminded' dangdut music that lulled with "kemodernannya", to return to the typical suburb dangdut. The phenomenon of Inul to say this is the original dangdut, a whiny, tacky and villages. Dangdut is the taste and belong to the marginalized, the music is able to entertain underprivileged, the bottom layer and most of its inhabitants. Maybe it's time to go back keselera origin dangdut, Inul want to invite us all to look back on the origins of 'country music dangdut'.
The wise say that the wheels are always spinning, there are times when human or something sitting positioned peaks, one day is below. So it is with music, fashion or hair and clothes. There is nothing new, because the new is actually old played back. So is the phenomenon of Inul, it was the turning point of the modernized dangdut. So why are reviled and dimaki? Let's be honest when we also really enjoy deriding
No comments:
Post a Comment