Wisata Berladang di Dieng
PAGI hari, Dieng berkabut tebal. Dinginnya menyergap tulang sumsum. Tak lama berselang, kehangatan hadir mengusir dingin. Apalagi kalau bukan dari keramahan orang Dieng yang dipercaya memiliki budaya tertua di Jawa itu. Sikap semedulur dan tata krama penduduk memberikan eksotika lain di dataran yang disebut-sebut tertinggi kedua setelah Tibet tersebut.
Pukul 03.00, saya meluncur dari Semarang dengan harapan bisa menikmati kesejukan perjalanan. Lewat jalur Wonosobo via Sindoro-Sumbing, perjalanan ke Dieng saya tempuh dalam tiga jam. Alhasil, pukul 06.00, saat kabut pagi masih menyelimuti Dieng, saya tiba di tempat tujuan. Tepatnya, di Dukuh Pawuhan Desa Karang Tengah. Desa tersebut berada pada sekitar 500 meter dari objek wisata Dieng (Desa Dieng Wetan dan Kulon) ke arah Banjarnegara.
Dukuh tujuan ini memang memiliki nama unik. Pawuhan diartikan sebagai “tempat sampah”. Nama ini tentu tidak muncul begitu saja. Para penghuninya percaya bahwa nama itu telah ada pada zaman Kerajaan Kalingga yang memang berpusat di kawasan tersebut. Konon, Kalingga memiliki peternakan gajah yang merupakan binatang kesayangan putri raja.
Nah, Pawuhan merupakan tempat pembuangan kotoran gajah tersebut. Makanya, tanah di dukuh itu terkenal subur karena humus dari kotoran gajah tersebut.
Di pagi yang terbilang masih buta itu, penduduk Dieng telah menjalankan aktivitas harian seperti menggarap lahan, menyiram tanaman, memanen, bahkan mulai menerima para pembeli yang datang dari luar kota menggunakan truk-truk besar. Ada yang dari Jakarta, Semarang, dan bahkan Bandung.
Memang dengan sistem pertanian intensif, setiap hari ada saja warga yang memanen kentang yang merupakan tanaman utama di situ.
Saya memang berencana mengikuti tourism based community (TBC) atau wisata berbasis komunitas. Sampai di lokasi, saya diterima tokoh pemuda setempat bernama Teguh.
Tak seperti atraksi wisata lain di Dieng, paket wisata ini sangat unik. Pasalnya, kegiatan yang ditawarkan terkait erat dengan aktivitas orang Dieng sehari-hari. Saya juga tidak tinggal di losmen atau hotel, tetapi di rumah warga yang tidak dirancang untuk penginapan. Umum di sana, jika Anda bertamu di rumah orang Dieng, Anda tidak disambut dan dijamu di ruang tamu. Dapurlah tempat beramah-tamah antara tuan rumah dan tamu. Itu memang tempat terhangat di dalam rumah.
Awalnya, agak heran juga saya melihat ada bangku kecil melingkari meja seperti bangku anak-anak TK. Ternyata, dinginnya udara yang terkadang di bawah nol derajat celsius itu memaksa warga menggunakan bangku-bangku kecil. Mengapa? Saat duduk berdempetan di situ, secara otomatis anggota tubuh saling merapat. Itulah salah satu yang menciptakan kehangatan. Bukan itu saja. Masih ada tungku arang yang menyala di situ.
Bagi saya, itu bukan sumber kehangatan uatama. Justru senyum ramah dan cara mereka menyambut dan menempatkan tamulah yang bisa mengusir udara beku Dieng. Hal unik satu lagi, di sana ada suasana “Lebaran” setiap hari. Kenapa? Bisa dikatakan, kapan saja kita datang, selalu tersedia jajanan khas Lebaran dan minuman hangat yang menemani obrolan santai bersama.
Ikut Bertani
Seharian itu, saya belum mengunjungi atau mengikuti perjalanan wisata yang mereka tawarkan. Waktu saya habiskan untuk anjangsana mengunjungi “saudara-saudara” lain dan beramah-tamah dengan warga. Pemandangan khas Dieng langsung menyapa. Penduduk, baik anak-anak, remaja, maupun orang tua, saat meninggalkan rumah selalu berpakaian atau berjaket tebal. Tak lupa, mereka selalu berselempang sarung.
Kerinduan saya akan suasana pedesaan sedikit demi sedikit terpenuhi. Kejenuhan dan kerasnya kehidupan kota yang terpendam di hati juga mulai terkikis oleh suasana perdukuhan. Lebih-lebih lagi, kabut, kesejukan, dan udara dingin yang tidak saya dapatkan di Semarang, saat itu mulai memenuhi rongga paru-paru. Lega rasanya.
Siang pun berganti malam, suasana syahdu dan eksotis semakin terasa. Banyak rumah warga yang menjadi tempat mengaji. Suara rebana pun sayup-sayup terdengar. Tidak hanya itu. Setelah agak malam, tak jauh dari tempat saya menginap, suara rancak gamelan mulai memecah keheningan malam. Musiknya memang agak sumringah, jauh lebih enerjetik jika dibanding dengan alunan gamelan gaya Yogya maupun Solo.
Mau tidak mau, kaki pun melangkah ke arah datangnya suara tersebut. Malam itu, di rumah salah satu tokoh warga, Muhidin, warga sedang berlatih gamelan tari lengger. Musik rancak gamelan gaya selatanan yang begitu “meriah” ternyata juga mampu membantu mengusir udara dingin yang semakin menggigit.
Aroma wangi klembak menyan yang diisap orang-orang tua juga menambah hidup suasana malam. Tanpa sadar, iringan gamelan membuat kepala mengangguk-angguk mengikutinya. Tak terasa, malam semakin larut, saya pun kembali ke rumah tempat menginap. Selimut-selimut tebal segera menyapa dan membuat tidur semakin lelap.
Keesokan harinya, saya diajak ke ladang untuk ikut bekerja menyiapkan lahan kentang. Tentu, ini ajakan yang menantang. Saya pun langsung menyetujuinya. Bahkan tak mau kalah, bak petani Dieng, saya pun menuju ladang sambil memanggul cangkul.
Kekaguman saya terhadap warga juga semakin bertambah tatkala menyaksikan mereka begitu bersemangat mengerjakan ladang. Tanpa alat ukur apa pun, mereka bisa menyulap lereng-lereng gunung menjadi petakan-petakan dengan ukuran yang sama. Bahkan larikan tanah untuk tanaman bisa lurus-lurus. Dalam waktu sebentar saja, mereka telah menyelesaikan beberapa petak. Sementara saya? Larikan yang saya buat hanya tiga. Itu pun berkelok-kelok seperti ular yang sedang merayap. Tak masalah. Yang penting ikut menggarap lahan merupakan pengalaman tak terlupakan.
Siang telah menghampiri. Kami segera mengambil tempat untuk beristirahat. Tak lama berselang, kiriman dari rumah datang. Bukan menu mewah memang, hanya nasi plus sayur tahu, ikan asin, dan tak lupa semur kentang. Meski sederhana, makan di ladang siang itu terasa nikmat. Setelah bekerja, nafsu makan jadi meningkat dan perut menuntut diisi lebih dari biasanya. Apalagi udara dingin selalu menyelimuti. Rasanya, itu makanan yang paling lezat sedunia. Saya bisa merasakan, betapa nikmatnya makan hasil keringat sendiri.
Kemudian, dalam perjalanan pulang ke pemondokan, kami singgah dan menyaksikan aktivitas pertanian warga lainnya. Mereka sedang merapikan pipa-pipa peralon untuk dibawa pulang. Sebab, musim hujan mulai tiba. Kerja keras mereka juga tergambar dari instalasi pengairan yang digunakan. Para petani Dieng mendatangkan air untuk mengairi ladang dari mata air yang berjarak puluhan kilometer. Tentu saja, pipa peralon yang harus mereka pasang mencapai ratusan bahkan ribuan batang. Kerja keras ini harus mereka lakoni karena kentang sangat membutuhkan air.
Akhirnya selesai sudah perjalanan hari itu. Rasa lelah, capai, dan letih justru menjadi hiburan tersendiri. Pengalaman baru menjadi petani sehari, sangat melekat dan tak mungkin saya lupakan.
Rasa penasaran saya akan paket wisata TBC hari itu juga terjawab. Paket itu tak lain dan tak bukan adalah aktivitas saya sejak datang hingga ikut berladang. Ternyata ide kreatif para pemuda dusun melahirkan atraksi wisata yang lebih menarik daripada sekadar mengunjungi objek wisata seperti candi dan telaga-telaga. Wisata itu jadi tambah menarik ketika sikap semedulur dan tata krama khas orang Jawa yang biasanya luntur karena suatu daerah menjadi kawasan wisata, justru mereka tonjolkan sebagai magnet yang bakal menarik banyak kalangan untuk mencobanya.
No comments:
Post a Comment