Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

2008/11/27

Dieng yang Merana - Jawa Tengah

TEROPONG
Dieng yang Merana




Reporter : Asep Syaifullah
Juru Kamera : Joni Suryadi
Tayang : Selasa, 6 Juni 2006, Pukul 12:00

Dieng berada di ketinggian sekitar dua ribu meter dari atas permukaan laut. Dataran tinggi Dieng, konon merupakan dataran tertinggi kedua setelah Nepal. Kawasan ini kerap diselimuti kabut tebal, dengan suhu dingin yang menusuk tulang.

Banyak peninggalan sejarah yang tak ternilai di kawasan ini, serta segudang potensi alam yang belum tergali. Namun sejumlah masalah juga menggelayuti kawasan ini. Dieng kini seolah terlupakan, bahkan terancam oleh ulah tangan manusia sendiri.

Untuk mencapai kawasan ini, Kami melalui Kabupaten Wonosobo, karena lebih dekat, kendati jalan berliku serta jurang dengan dinding yang terjal di kiri kanan jalan. Saat Kami tiba di lokasi, pemandangan berubah. Jurang dan dinding yang terjal, berganti dengan pemandangan baru.

Dataran tinggi Dieng yang berada di ketinggian 2000 kaki dari permukaan laut ini dikelilingi perbukitan, bagaikan gelang raksasa. Kami seolah berada di dunia yang baru. Dieng memiliki tiga dataran. Konon dataran ini terbentuk, akibat letusan dashyat Gunung Merapi, hingga bagian puncak gunung terlempar.


Suhu sangat dingin dan menusuk tulang. Pada siang hari, dinginnya bisa berkisar antara 10 hingga 20 derajat selsius. Bahkan, pada pagi hari, suhu bisa mencapai titik beku, alias nol derajat celsius. Disini, Kami cukup kesulitan untuk mencari hotel yang layak. Hanya penginapan sederhana namun pelayanannya cukup memuaskan.

Dieng menyimpan sejarah masa lalu. Komplek candi ini dibangun di bekas cekungan sisa kawah. Konon ini merupakan bangunan Hindu tertua di Jawa Tengah yang dibangun sekitar abad ke tujuh, lebih tua dari prambanan yang dibangun pada abad ke delapan.

Ada delapan candi, dengan candi Arjuna yang berada di tengah. Candi ini konon dibangun untuk sebuah kegiatan ritual, karena ada kepercayaan bawa roh-roh leluhur tinggal bersemayam di pegunungan.

Sang arsitek candi ini cukup cerdik, karena membangun candi di dataran tinggi ini tidaklah mudah, harus memperhatikan struktur tanah dan air yang merupakan bagian penting bagi sebuah upacara ritual. Masih ada belasan candi lain yang masih tertimbun tanah dan menunggu untuk digali.

Dieng juga memiliki telaga warna, satu dari tiga telaga. Air di telaga ini kerap memantulkan warna warni, karena kandungan belerang.

Namun sebagian masyarakat disini percaya, bahwa telaga ini adalah tempat permandian para dewa dan dewi, sehingga banyak peziarah yang datang untuk mengharapkan pesugihan. Saat Kami menyusurinya, ada tiga gua di pinggiran telaga. Salah satu adalah gua Semar. Gua ini kerap digunakan untuk bersemedi.

Kami masuk kedalam dan melihat sisa sesaji. Penjaga gua mengatakan, gua ini kabarnya kerap dikunjungi pejabat, bahkan sejumlah mantan presiden. Namun, kini telaga ini tidak lagi berwarna, akibat pembabatan hutan dan perusakan lingkungan.

Dieng boleh dibilang adalah paduan antara keindahan alam dan budaya. Namun Dieng saat ini sedang merana, sebagian kawasan hutan pegunungan ini mulai gundul. Sekali lagi ini akibat ulah manusia yang serakah dengan membuka lahan dengan cara menebas hutan.


Hutan Dieng Habis Dibabat

Dataran tinggi Dieng luasnya sekitar enam belas ribu hektar, dan delapan ribu diantaranya merupakan kawasan hutan yang dilindungi.

Namun sebagian kawasan hutan mulai terkikis. Ini diakibatkan oleh pembukaan lahan untuk kentang dan sayur mayur oleh warga di sini. Curah hujan yang tinggi menyebabkan tanah di sini sangat subur, sehingga menjadi berkah bagi warga setempat. Kami berbincang-bincang dengan sejumlah petani kentang disini, dan kentang sudah menjadi mata pencaharian mereka.

Harga kentang yang semakin baik, rupanya membuat petani berlomba membuka lahan. Ribuan hektar lahan kentang kini terhampar luas dan telag mengubah wajah Dieng. Mereka tidak sadar bahaya yang mengancam kehidupan mereka sendiri, akibat pembukaan lahan yang tidak terkendali .

Daerah yang paling parah adalah wilayah di Kabupaten Wonosobo. Sejauh mata Kami memandang, tidak ada lagi hutan yang hijau, melainkan perkebunan rakyat sudah merambah hingga keatas bukit.

Pemandangan ini berbeda dibandingkan lima belas tahun yang lalu. Padahal kawasan hutan lindung ini adalah penopang kehidupan di sini, sekaligus benteng yang mencegah erosi.

Kami tidak bisa membayangkan bila longsor terjadi dan menimpa perkampungan di bawahnya. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menghijaukan kembali kawasan ini, namun kenyataan yang Kami lihat dilapangan, penanaman yang dilakukan kerap mendapat kendala.

Penjarahan tidak hanya kawasan hutan lindung, melainkan situs peninggalan purbakala. Lahan yang seharusnya menjadi situs sejarah, dijarah warga lalu kemudian dijadikan lahan kentang. Kentang telah menjadi tambang emas dan menaikan taraf kehidupan masyarakat di sini, namun sekaligus juga telah mengubah wajah Dieng.

Tidak ada lagi keindahan alam Dieng yang mempesona. Sebagian warga mengeluh karena berkurangnya turis yang datang. Sehingga Kami berangsur�angsur paham, mengapa tidak hotel berbintang di kawasan ini.

Dieng adalah keajaiban alam, sekaligus cagar budaya yang berada diambang kehancuran. Perusakan lingkungan di kawasan ini adalah akibat kelalaian dan keserakahan manusia yang mengejar keuntungan sesaat yang tidak harmonis dengan alam sekitarnya.


Segera Selamatkan Dieng

Menikmati panorama Dieng seakan tidak akan lengkap bila anda tidak mengunjungi sejumlah kawah di pegunungan ini. Di pegunungan ini ada dua puluh empat lubang kawah yang menyemburkan belerang panas. Sudah lama puluhan kawah di Dieng ini menjadi objek menarik sekaligus langka, karena wisatawan bisa langsung mengamati kawah dari jarak yang sangat dekat.

Ada tiga kawah yang terkenal di sini, yakni Kawah Sikidang, Sileri dan Candradimuka. Untuk menuju Kawah Sikidang, Kami harus melalui jalan yang licin, serta melewati sejumlah kawah kecil. Kawah-kawah ini selalu berpindah � pindah tempat.

Kawah Sikidang ini merupakan kawah aktif yang menebar bau belerang yag begitu menyengat. Namun kawah ini sudah dibuka untuk wisatawan. Air Kawah Sikidang berwarna kehitaman, panasnya diperkirakan mencapai seratus derajat celcius, sehingga panasnya sudah terasa saat Kami berada di bibir kawah.

Kawah ini banyak dikunjungi para wisatawan asing maupun lokal ini. Namun Kami cukup kuatir mendekati kawah karena tidak ada pagar pembatas di bibir kawah dan ini sangat berbahaya.

Perjalanan Kami lanjutkan ke Kawah Sileri, yang letaknya berada di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Kawah ini paling berbahaya, dan merupakan yang terluas di Dieng, yakni sekitar dua hektar. Pada tahun 1964 dan tahun 1984 kawah pernah dua kali meletus, sehingga pengunjung hanya diberi kesempatan melihat kawah ini dari jarak beberapa ratus meter saja.

Kawah merupakan fenomena alam yang langka dan menakjubkan, namun sekaligus berbahaya. Tahun 1979, salah satu kawah di Dieng ini, yakni Sinila mengeluarkan gas beracun dan menewaskan 149 penduduk di sini. Puas melihat Kawah Sileri, Kami melanjutkan perjalanan ke kawah candradimuka. Kawah ini awalnya terbentuk dari pemunculan solfatara, yakni berupa gumpalan asap putih dari tanah yang merekah.

Banyak legenda rakyat tentang kawah ini. Dalam cerita pewayangan Jawa, kawah ini konon merupakan tempat dimana gatot kaca digodok dan menerima ajian pamungkas. Kawah candradimuka memiliki tiga lubang kawah dan yang paling aktif saat ini adalah lubang tiga.

Kawah ini merupakan energi yang besar. Puluhan kawah ini mengeluarkan tenaga panas bumi atau geotermal yang dapat digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, dan empat diantaranya sudah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga bumi.

Kawah di pegunungan Dieng adalah objek yang bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan asing, karena merupakan fenomena alam yang langka. Namun sayangnya selama perjalanan Kami di sini, Kami jarang menjumpai wisatawan lokal maupun asing.

Kalaupun ada, hanya para peziarah yang datang untuk melakukan ritual, seperti ruwatan dan membuang sesaji di kawah ini untuk mendapat pesugihan. Masa keemasan Dieng sudah berlalu. Pada tahun 1991 kawasan Dieng ini pernah dikunjungi 31 ribu wisatawan asing dan seratus ribu wisatawan lokal. Kini beberapa tahun terakhir, jumlah wisatawan yang datang menurun drastis.

Kami tidak yakin masih bisa melihat pesona alam Dieng yang begitu menakjubkan, bila aksi penjarahan kayu dan pembukaan lahan pertanian yang tidak terkendali masih terus terjadi.

Bila tidak segera diselamatkan, Dieng akan bernasib sama dengan kawasan cagar alam dan budaya serupa yang berada dalam posisi terjepit, antara dua kepentingan besar, yakni kepentingan ekonomi dan pelestarian alam.(Idh)



No comments: